Sabtu, 08 November 2014

Akhirnya, Kau yang terhebat

Hal yang sakit itu bukanlah ketika aku harus menunggu walau tak pernah tahu kapan akan berakhir. Tapi yang sangat menyakitkan itu adalah menerima kenyataan bahwa aku harus benar benar melupakan segala hal yang membuatku selalu ingat tentangmu. Yaitu ‘cinta’.

Perasaanku tak cukup dikatakan sebagai perasaan cinta saja, dia lebih dari segala hal yang pernah kau tahu. Dia menyatu dalam urat tangan yang selalu terlipat untuk berdoa. Dia menjadi salah satu alasan mengapa aku harus mengucap syukur setiap harinya. Dan itu semua bukan tanpa alasan megapa aku bisa menjadi wanita yang separuh hatiku hampir dimiliki dia. 

Aku tak katakan yang lain tidak baik, hanya saja ketika mencoba men-taut-kannya aku tidak merasakan kenyamanan selayaknya aku didekat dia. Itulah alasan mengapa aku belum bisa menerima sangkutan lain untuk layangan cinta ini. Dia menjadi bola yang bulat, tak ada kesempatan untuk memutuskan tiap sisinya, bercengkrama hanya pada yang ada dalam lingkarannya, berdiam didalamnya tanpa satu orang pun yang tahu. Begitulah kau- yang sulit untuk kubaca isinya. Yang membuat aku ragu untuk terus bertahan atau beranjak pergi walau itu semua begitu sulit. Yang mengajak bermain jika ada yang memulainya.

Tidakkah dia bisa memutuskan sesuatu dengan tepat? Supaya tidak aku tergoda untuk terus menunggu setelah melihat tatapannya yang begitu dalam? Aku menjadi wanita jahat semenjak menjaga hati yang tak pernah kau minta ini. Karena ketika aku menunggumu ternyata ada yang lain juga menungguku untuk datang.

Jangan per-tebal lapisan hatimu, supaya kau bisa merasakan dan peka akan apa yang pernah kau tumbuhkan ini. Sejujurnya aku takkan pernah menjadi seperti ini, kecuali jika aku tak pernah bertemu dan mengenalmu, jauh dan lebih dalam lagi. Salahnya ketika kau menjemputku dalam perjalanan itu aku menutup mata dan menikmati keindahannya sehingga aku lupa untuk menghapal jalan kembali ketempatku semula. 

Dan sekarang aku harus perlahan menutup, kemudian kembali membuka jalan lain untuk aku lalui. Meski kenyataannya, hal itu lebih sulit dibanding sekedar bersabar menantikanmu pulang dari ke-sibuk-an yang tak pernah kau jelaskan. 

Mungkin jemariku lebih hebat dari mulutku. Karena aku tak sanggup mengungkapkan dan malah bisa mensuratkannya walau tak pernah ada kata yang tepat untuk perasaan yang tersirat ini. Dan ternyata juga hatiku lebih kuat dari jemariku. Karena sanggup bertahan dengan -cinta- yang tak pernah kau baca melalui tulisan tanganku. Tetapi sekarang, kau-lah yang terhebat. Sanggup menumbuhkan perasaan yang begitu hebat ini. Sanggup meninggalkan perasaanmu yang begitu hebat juga. Sanggup mengungkapkannya dengan lantang walau bukan padaku. Dan sanggup diam hingga aku mencoba melepaskan jubah yang kau pasangkan untuk menghangatkan perasaan ini. 

Kau-lah yang hebat dalam permainan ini, padahal kau hanya segambar dengan lingkaran. Bulat dan tak terlihat sisi mana yang bisa diputuskan untuk pintu agar aku bisa tahu isi didalam hatimu. Mengapa mungkin kau begitu? Mungkin karena kita sudah saling melukai tanpa sadar. Itulah kisah yang mencintaimu tak perlu waktu semalam, sedangkan melupakanmu aku habiskan waktu bermalam-malam. Akan kuputar arahku, meski terasa berat padahal aku tak membawa beban berat. Tapi hatiku-lah yang menjadikan jalan ini semakin berat untuk kutinggalkan.

Akankah kau sadar, bahwa aku begitu rela membiarkan hatiku menangis tanpa terlihat oleh siapapun hanya agar aku bisa bertahan ditempat ini. Sekuat apapun jeritan dalam hatiku mungkin kau tak pernah akan mendengarnya padahal sekuat itulah keinginanku agar kau menjemputku dari tempat yang kau tinggalkan ini.