Jumat, 07 April 2017

Bukan salah 'cinta'

Kali ini sengaja kusapa malam yang diam tanpa berniat untuk memulai pembicaraan denganku. Aku memandang langitnya. Dia begitu gelap karena baru saja dia menangis. Aku ingin bertanya mengapa dia menangis malam ini, rasanya seperti diledek padahal sebelumnya kami baik baik saja. entahlah, langit yang ikut menangis melihatku menangis atau aku yang ikut menangis melihat langit yang sedang menangis juga. Tapi rasanya malam ini aku begitu senang, karena tangisku ditemanis oleh air mata langit. Meskipun tak setiap saat dia mengerti bagaimana aku. Tapi seolah langit mengetahui kapan harus menjadi sampul untuk tangisku.

Sejujurnya aku tak ingin bersikap egois pada langit. Seolah aku datang padanya dengan membawa duka yang aku dapatkan. Ya, kali ini aku menyapanya karena aku sedang merasakan duka. Namun tidak sedang berduka. Hanya saja aku merasakan pilu. Ketika itu hingga saat ini aku masih merasakan bahwa langit bagaikan seorang ibu yang menampung segala keluh kesah anaknya. Dan anaknya itu adalah aku.

Anak dari seorang ibu yang bernama langit itu sedang murung, entah oleh karena ibunya yang sedang murung atau memang hatinya sedang tak karuan. Nyatanya dia sudah cukup dewasa untuk sebuah persoalan yang membuat hati tak karuan, tetapi mungkin saja kali ini berbeda. Mungkin saja ini kemurungan yang terpahit dia rasakan. Sementara aku, aku sedang diantara mereka yang melihatnya seperti sebuah drama. Bahwa ada anak yang memiliki hati tak karuan dengan permasalahan yang belum jelas, dan disana ada ibu yang diperankan oleh langit yang seolah begitu mengerti arti dari kemurungan itu –terkadang aku juga ingin menjadi seperti langit, yang mengerti arti dari semua kemurungan karena hati yang tak karuan- mereka bercerita melalui telepati. Anak itu hanya diam dan memandang ibunya. Sementara itu, langit yang memerankan sebagai ibu begitu piawai mengekspresikan duka yang diceritakan anaknya.

Dari tempat dudukku aku menangkap kisah yang sedang diceritakan anak itu. bahwa benar hati yang tak karuan itu membuatnya murung, benar juga bahwa pikirannya sedang kusut, meskipun hatinya tumbuh menjadi subur. Tapi terlihat hal yang seolah begitu menyakitkan, dan kutangkap sebagai titik inti kemurungannya. Dia, anak yang begitu lemah pada dirinya, yang melemahkan hatinya untuk sebuah cinta yang ia tumbuhkan dengan ikhlas. Namun selama cinta itu tumbuh didalam hatinya, ada juga duri yang semakin menusuk. Entah karena tidak ada tempat untuk hati yang semakin besar itu atau karena duri yang salah dan bukan pada tempatnya. Jika kuperhatikan, kehidupan anak itu sedang dalam ambang kerumitan. Kedua-duanya akan begitu menyiksa, antara menumbuhkan cinta yang juga akan menumbuhkan duri atau mematikan cinta dan membunuh hati.

Lalu aku bertanya pada Yang Kuasa didalam hatiku. ‘Tuhan apakah dosa anak itu yang sedang menjaga cinta untuk menghidupkan duri yang akan terus membesar dan menusuk hatinya tanpa sengaja?’ namun mendapatkan jawaban Tuhan tak semudah mendapatkan jawaban untuk soal matematika. Tetapi tetap dalam hatiku aku bertanya-tanya. Bahkan hingga aku pulang dari pergelaran drama itu. aku seolah sedang dalam situasi yang entah bagaimana bisa membuatku tertusuk sakit juga.

Haruskah dia mati pada ujung pilihannya tersebut. Jika untuk berhenti dia membutuhkan energi, dan untuk terus bertahan dia membutuhkan cadangan hati. Anak itu sungguh kuat, dia mampu menanam cinta yang berduri didalam hatinya, yang semakin besar cintanya maka semakin besar pula duri itu akan tumbuh. Duri yang menyimpan racun dari pengkhianatan, duri yang membesar dari kesia-siaan, dan duri yang tumbuh dengan kebohongan. Kemudian aku terus memikirkannya ‘benarkah cinta yang ditanamnya tepat pada tempat yang tepat? yang juga menginginkannya tumbuh? yang juga tempat itu merasakan sakit karena dengan tak sengaja ternyata telah memberikan duri?’

Tuhan, bolehkah aku meminta supaya kuasaMu memberkati cinta yang rumit itu. Supaya apapun ujungnya, tidak ada kesia-siaan pada cinta yang bodoh itu. tidak ada pengkhianatan pada cinta yang mengundang belas kasihan itu, dan tidak ada kebohongan pada cinta yang ditertawakan orang lain itu. Karena mencintai adalah kemampuan kami yang engkau berikan, sementara ketidakmampuan kami adalah mengelak untuk menjadi budak cinta.


Tapi aku lupa, diakhir adegan anak itu mengeluarkan suaranya dan berkata “Aku dengan bodoh memulai cinta ini, menumbuhkannya ditempat yang tak tepat dan membuat hati yang menyimpan cinta itu tertusuk duri. Aku selalu membiarkannya tersiram oleh air mata, membuatkan subur melalui air mata, dan membuatnya mati dalam air mata. Tapi hatiku berkeras pada cintanya itulah sebab ia tumbuh begitu subur sesubur duri itu yang kian membesar.”

Rabu, 15 Februari 2017

Mendadak Pujangga

Salam untuk pemuja yang kuat dalam diam. Dapatkah kalian sampaikan salam selamat datang untukku yang baru saja belajar menjadi pemuja dalam aksara? Aku harusnya menjadi pujangga dalam diam, dengan sejuta kisah sedih untuk mengabadikannya melalui kata. Menjeratnya dengan romantis melalui kalimat. Tapi sayangnya aku gagal, dia justru lebih tajam menusuk hatiku dengan kalimat cinta yang selalu dirangkainya. Menusuk hatiku tapi tidak sakit, bahkan aku suka itu.

Dapatkah aku bergabung bersama para pemuja yang tidak pandai bersuara? Bahkan seandainya gadis yang ku puja itu mengadakan pemungutan suara, mungkin saja suaraku yang terkecil. Sebab semua kekuatanku telah habis untuk mejaga hati ini supaya tak membukakan pintu untuk gadis lain. Adakah sang pujangga yang belajar di gedung sekolah untuk menciptakan sajak indah? Bisa kah aku bersekolah disana? Supaya aku dapat paham bagaimana bisa gadis yang kulihat ayu itu dapat kuat dalam kalimatnya, dan supaya aku mampu menciptakan aksara sekuat kisah-kisah yang dibuatnya. Dia begitu mencekam dengan ceritanya, membaur dengan pesan yang terselip dibalik setiap kata yang dijadikan kalimat. Aku bahkan dengan ikhlasnya terbawa alur dalam setiap kisah yang dikisahkan dengan bahasa yang sederhana namun begitu kuat. Terjebak disetiap ruang diotakku, menjadikan aku sebagai pemuja aksara yang mendadak ingin berenang didalam lautan kalimat-kalimat itu.

Dapatkah aku memahami bagian mana yang menjadi favorit dari setiap tulisannya? Aku menjatuhkannya dengan tanpa sadar. Ya, perasaanku itu. Sudah jatuh berulang ulang kali. Sudah ku isi berulang-ulang kali hingga tumpah meluap. Tapi tetap saja luapannya tak sampai pada hati gadis yang tak bisa kutebak itu. Aku bahkan tak bisa juga menebak perasaanku, bahkan tak ingat kapan pertama kali aku mendengar hati ini berdetak begitu kencang ketika sedetik saja aku mengingatnya. Dan kini aku bermain dengan teka-teki yang pada akhirnya dapat kulihat dari setiap kalimat yang meluncur dari jemarinya. Dan tugasku adalah memainkannya, mempekerjakan otakku untuk menemukan jawabannya. Berharap aku adalah salah satu inspirasi dari satu saja aksara cinta yang diciptakannya.

Keadaan ini sungguh terlihat seperti anak burung yang baru saja bisa terbang. Dia memulai pelajaran mengepakkan sayapnya dibawah hujan yang deras, menyeimbangkan antara kemampuan yang dimiliki dengan tekanan yang didapatkan. Namun tetap saja, dia merasa bangga dapat mengepakkan sayap barunya itu, menikmati tekanannya, dan merasakan kedamaian yang hujan titipkan. Begitulah aku, yang terjebak diantara gadis penuh aksara dan aksara penuh cinta. Keduanya membuatku memerankan pemuja dalam diam yang ingin menjadi pujangga yang berimbang.


Namun kurasa aku gagal, gagal menyambangi hatinya sebagai pujangga. Karena aku belajar dari kata per kata yang dituliskannya, bahwa “Tidak ada cinta yang sempurna seperti aksara berbalas aksara. Karena jika keduanya mengisahkan kisah maka siapa yang akan jadi pembaca? Karena jika keduanya menceritakan kisah maka siapa yang akan menjadi pembawa cerita?” 

Selasa, 08 November 2016

Terimakasih hujan

Hujan memang paling bisa. Tidak tahu dia punya kekuatan apa, tapi memang hujan yang paling bisa mengembalikan memori masa lampau atau bahkan mempercepat bayangan masa depan. Baru sebentar saja ia turun tapi aku sudah jauh mengenang bahakan membayangkan. Mengenang masa sulit yang pernah menghabiskan air mata maupun masa suka yang menyimpan tawa. Ini bukan hanya tentang kamu, tetapi juga tentang aku dan mereka. Baik masa sulit maupun masa sukanya.

Baru sebentar lalu rintiknya perlahan terdengar, tapi melodinya mengembalikan segala masa yang pernah kulalui bukan dengan sendirian. Saat banyak tangan yang rela terbuka tanpa diminta, saat banyak telinga yang tak pernah kuminta untuk mendengar, dan saat aku tergulung ombak air mata aku tak perlu mencari bahu mana untuk bersandar. Tapi itu dulu. Entahlah sekarang bagaimana. Entah harus menyalahkan siapa.

Rasanya ada gejolak dari dalam hati untuk menyalahkan waktu, ketika dia berputar maka banyak hal yang akan berlalu. Tapi jahat jika aku mengkambinghitamkan waktu, karena ini bukan salahnya. Dia sudah berputar sesuai kemampuannya, tidak dilebihkan atau dicepatkan. Mungkin yang salah adalah diri sendiri, ketika waktu berjalan justru saat itu kedewasaan kita sudah jauh berlari mendahului waktu yang semestinya.

Merubah diri, menutup hati –sementara membuka hati untuk penghuni lain- bahkan menghilang dengan perlahan.

Dan aku menyesalinya, aku bukan yang terhebat yang bisa membagi 24 jam waktuku ketika banyak hal yang bertambah untuk kupikirkan. Kita sama. Kalian punya 24 jam jatah perhari, dan begitu juga aku. Tapi sayang mungkin hanya sepersekian detik yang kita habisnya untuk sekilas mengingat waktu kita pernah pulang terlalu malam, waktu kita kehujanan tetapi malah tertawa, waktu kita menertawakan sesuatu padahal kita tak lebih sempurna.

Entahlah dewasa itu harus disyukuri atau dicaci maki. Untuk itu semua aku membutuhkan kotak besar dan gembok yang kuat. Untuk menempatkan kenangan indah namun tak perlu diingat lagi, untuk menyimpan rekaman tawa kalian yang mengejek itu, dan untuk semua proses perubahan dari tahun ke tahun yang justru menipiskan bukan untuk menebalkan percaya.

Terimakasih kedewasaan yang selalu dielu-elukan. Sekarang aku lebih menyukai sepi, dimana ada damai yang lebih berarti dibanding ramai yang menikam. Dimana aku hanya bercerita pada diri sendiri, mengenal jauh siapa sipemilik jari yang lebih kuat ini. Yang sejujurnya merindukan berpanas sambil memancing, yang merindukan berlari dikebun orang, yang merindukan menjadi buronan karena ketahuan kabur dari jadwal tidur siang. Dan yang tak mengenal sakit karena kehilangan tangan yang akan memeluk, kehilangan telinga untuk sekedar mendengar, dan bahu untuk bersandar yang semuanya pernah ada tanpa diminta.


Terimakasih waktu, menyempatkanku untuk mengucapkan ‘terimakasih’ yang memiliki kesan untuk mengakhiri...

Senin, 03 Oktober 2016

Surat Untuk Kopi di Kotamu

Pagi tadi jariku melekat pada keyboard laptop yang entah mengapa tiba-tiba ingin ku hidupkan. Lama aku tertegun didepannya dan menatap kosong layar yang tak berarti ini. kosong, seperti sebuah gelas yang berada disampingku. Kemudian aku mengingat bahwa beberapa hari lalu aku sempat membeli kopi hitam. Pagi ini begitu kosong, dan pahit. Untuk kesekian paginya aku bangun dengan tanpa daftar kegiatan yang harus ku selesaikan. Mataku kemudian menyusut jauh pada kenangan-kenangan yang pernah ada di kota ini, dianta riuh kemacetan berselimut debu. Aku pelan berbisik ‘aku pernah mencintai kota ini’ kemudian sekarang apa? Aku tak begitu damai disini meskipun aku tahu bahwa kemanapun tidak akan pernah ada kedamaian yang memaksa tinggal lebih lama. Hingga pada akhirnya aku mencaci kejam pilihanku.

Tinggal di kotamu ini seperti menghabiskan segelas kopi. Aku merasakan pahit dan manisnya. Aku merasakan efek sampingnya dan aku menikmati aromanya. Namun sekarang, kopi itu sudah habis dan tersisa hanya ampas dipinggiran gelasnya. Tidak bisa dinikmati, dia tertinggal hanya untuk memperindah saja. Memperindah aroma yang sudah pernah ku nikmati dan sekarang dia hanya memperindah gelas yang menampungnya.

Aku meneguk kopiku sedikit demi sedikit, terang saja aku harus menikmatinya sambil merangkai kisah di kotamu ini. Tegukan pertama dari gelasku terasa sangat hambar dan sedikit menggigit panasnya. Aku lupa bahwa kopi ini baru saja dibuat, hingga panasnya masih kuat. Meskipun aku tak mengingat berurutan semua kisah dari setiap tegukan kopiku, tapi aku masih mengingat setiap aroma yang menciptakan kisah apapun dari dalamnya.

Sekarang kopiku sudah habis, bahkan rasanya waktuku sudah habis juga di kotamu ini. sejujurnya aku ingin berpindah, dan memilih untuk tidak menikmati kopi di tempat ini lagi. Tapi ada hal yang membuatku berat melangkahkan kaki untuk beranjak jauh atau hanya beberapa langkah.  Dan aku tidak memahami itu. Aku rasa cukup untuk menikmati tenang dan riuh kotamu ini. Aku rasa cukup menciptakan sedih dan bahagia di kotamu ini.

Dan aku rasa aku mencintai kotamu ini namun aku juga membenci kenangan yang ada disini. Aku membenci setiap sudut yang membawaku kembali pada kisah yang sia-sia. Kesia-siaan yang membuatku menertawakan diriku sendiri. Entahlah, itu kesia-siaan yang pernah kuperjuangkan atau perjuangan yang pernah disia-siakan.


Pada langit kotamu kutitipkan pesan, bahwa banyak rahasia yang masih saja tetap menjadi rahasia. Pada udara kotamu kubisikkan kata, bahwa rencana Tuhan belum selesai. Maka pada bumi kotamu ku nyatakan bahwa aku masih akan berjanji sebelum engkau mengetahui janjiku itu.

Senin, 26 September 2016

anganku memang 'sekedar'

Matahari semakin dekat denganku, ketika aku terbangun dari mimpi tentang kita yang masih sama sebelum aku memejamkan mata. Jika kau tanya aku lebih menyukai malam atau siang, maka kujawab aku menyukai keduanya. Hanya, jika saja aku bisa melewati itu denganmu, menghabiskan malam dengan memimpikan masa depan kita, dan meneguk siang dengan merancang pondasi untuk bangungan masa depan kita. Karena saat itu aku sadar, aku dan kamu masih sebagai perancang yang terpisah oleh lautan.

Kau tak menahanku ketika akan meninggalkan kota tempat kita menghabiskan waktu hanya dengan mengunjungi toko buku, karena kau tau bahwa ada yang mengikat ketika aku sudah terpikat. Kita sudah menghabiskan waktu dibawah kota yang tak berawan ini, harusnya akan terasa panas tetapi setiap detiknya adalah sejuk untuk hatiku. Dan saat itu tiba, ketika aku harus meninggalkanmu untuk jarak beribu kilometer ada separuh yang hilang entah kemana. Tapi senyummu memberi pesan, bahwa kau akan menunggu dan baik-baik saja. Meskipun tak setiap saat ku habiskan dengan menikmati makanan yang kau buat, entahlah saat itu aku sedang jatuh sejatuhnya dalam cinta atau karena kau memiliki resep rahasia, yang jelas aku menikmati cinta yang sederhana ini.

180 malam dan siang ku nikmati tanpa melihat jelas wajahmu, meskipun sebelumnya sudah pernah kita lalui hal semacam ini, tapi tetap saja ada pilu rindu yang mengiris. Purnama sempat berubah, namun di telepon yang ku genggam suaramu tak pernah berubah. Sungguh ada kesungguhan yang menginginkanmu sekali saja mengantarku ke toko buku di negeri Jiran ini. Tapi kuasaku bukan sepenuhnya menguasai, tetap saja aku kalah dengan mimpiku yang terus mengolok.

Hingga pada saatnya aku yang menertawakan mimpi, karena berhasil mengindahkannya. Aku kembali, dan melihatmu denagn senyum dan tatapan yang sama. Orang yang menungguku disini, menantikan kepulanganku untuk sekedar merenung ketika malam tiba.

Pada saat itu kehadiranmu seperti kaca mata untuk mata yang sudah tak jelas lagi melihat, kau memperjelas penglihatanku. Aku berharap begitu. Namun ternyata purnama mengajakmu berubah, memberikanku kaca mata gelap membisukan mataku dan membiarkan aku berteriak. Aku meninggalkanmu meski kau sudah menunggu lama, aku menambah jarak kita dan menghindari toko buku yang sering kita kunjungi. Aku mengalahkan emosimu dengan amarahku yang lebih besar, lebih besar dari rasa cinta yang sudah lama aku pupuk.

Sekarang bolehkah aku sekedar memiliki angan untuk rindu padamu? Pada kotak bekal yang kau bawa untukku, pada toko buku yang kita kunjungi, pada setiap lagu yang kita dengar? Sekarang bolehkah aku mencemooh diriku yang berhasil lepas dari ikatanmu namun tak terarah lagi langkahku. Atau bolehkah aku membenci jarak yang membuat purnama dan kamu menjadi tak lagi sama.


Sekarang tolong jelaskan, bagaimana malammu dan siangmu yang kau habiskan dengan yang lain?

Jumat, 12 Agustus 2016

Alasannya menemukan pulang

Ada yang tersesat jauh di kolong langit ini, meskipun jika ia duduk menunggu belum tentu akan ada yang menjemputnya kemudian menghantarkannya pulang. Tahu kah kau, sejauh apapun ia tersesat dan sepenuh apapun ruang hatinya diisi oleh dogeng indah, tapi ada satu laci yang kecil namun padat terisi olehmu. Setebal apapun buku itu terisi, semua itu hanya dongeng yang tak nyata.

Jauh sudah waktu yang ia habiskan, dan akhirnya dia menemukan jalan pulangnya sendiri. Pulang dengan harapan, meskipun mematikan. Pulang dengan melihat kekalahannya yang kau tolak. Pulang dengan  mulut yang masih bungkam tanpa kesempatan untuk mengungkap. Pulang dengan rahasia yang akan terus menjadi rahasia...

Sejauh ini, semakin jauh dari harapan bahwa kau masih sama dengan yang dulu, yang berjuang sendiri menemukan pesan dibalik semua ketertutupannya menerimamu..

Ada sakit yang ia rasa, saat kutemui seluruh jiwanya diserang oleh ketidakberdayaan akan engkau. Dengan separuh lagi jiwa miliknya yang belum tercabik oleh pesan-pesan yang membunuh itu, dia berusaha menemukan jalan ini.

Jalan untuk pulang...

Berbicara cinta secara terus terang seperti jarak. Jarak bukan kilometer yang harus dilalui untuk sebuah kecupan hangat dikening. Tapi tentang seberapa kalipun kau sudah mengelilingi bumi yang bulat ini, kau tahu bahwa semua terbentuk dari hatinya. Dia-lah inti dari bumimu yang bulat. Itulah jarak, yang melepaskan kalian. Baginya itu indah, ketika dia mempersilahkanmu sejauh kau mau mengelilingi bumi ini namun kau tak lupa bahwa dirinya adalah inti dari segala tujuanmu. Serumit apapun jalan yang membuatmu tersesat kau akan kembali kesana, untuk memperkuat inti dari bumi-mu itu. Seperti kau yang mempersilahkannya melangkah jauh lebih berani, tapi dia tau cemasmu tak habis tentangnya yang pernah terjatuh, tersesat, entahpun terpeleset kedalam jurang. Asal kau tahu saja, dia suka caramu yang elegan, diammu yang penuh rahasia dan doamu yang diam namun kuat. Dia menyukai cara Tuhan mempertemukan kalian.

Itulah cinta yang terbayang pada otaknya, entah karena terlanjur seluruhnya terisi oleh khayalan tentang bahagia bersamamu, atau itulah standar untuk impian hidup lebih baik.

Apapun itu, duka yang dimilikinya semoga berhadiah suka yang dia harap itu kau, meskipun dalam bentuk yang lain, dalam posisi yang lain juga tapi ketetapannya memilihmu adalah beralaskan iman kepada Tuhan-nya.


Seperti fajar yang menemui senja, bumi bergerak perlahan namun akan tetap sampai pada waktu yang membuatnya indah,  kau pernah jauh dan pernah dekat. Namun pada akhirnya nanti kalian akan melekat.

Senin, 25 April 2016

'k i t a' ?

Kuringkas semua yang akan kusampaikan nanti diakhir perjalanan ini, bukan sebagai kesimpulan karena tak ada yang perlu disimpulkan. Ini bukan kisah semacam uji coba yang membutuhkan hasil akhir, yang harus dinyatakan kesimpulannya dalam diagram atau bahkan tabel yang mungkin sulit dimengerti namun mudah untuk dipahami. Ini adalah ‘k i t a’. Yang berspasi, berjarak antar huruf k menuju i menyambut t dan berakhir a. Lihatlah, jika diucapkan ‘k i t a’ terasa tak berjarak, namun segala yang terucap juga akan tertulis, mungkin pendengar lain mendengar bahwa ‘k i t a’ begitu mudah terbentuk, tapi untuk sebagian lain yang berperan sebagai pembaca ‘k i t a’ begitu susah untuk dibaca. Ada proses didalamnya, banyak arti dibelakangnya yang tak benar-benar selalu ‘k i t a’ dengan arti bahagia.

Perjalanan yang kuringkas menjadi ‘k i t a’ membuatku terkesan terlalu berani bagi sebagian orang, karena aku terlalu menantang untuk mengibaratkan itu sebagai dugaan sementara dari kisah yang bahkan tak kuinginkan ini. Aku mengejanya dengan susah, karena sesudah huruf k tak selalu huruf i yang muncul seperti yang aku inginkan. Pernah kutemui huruf-huruf lain yang mengikuti k, yang kusambung ternyata menjadi ‘k-ecewa’ tak berjarak, begitu cepat terangkai. Begitulah ‘kecewa’ datang seberani aku menyatakan dugaan sementara ini. Ku kira dengan menunggu agak lama, aku sudah menemukan ‘k i t a’ disini. Ternyata aku terlalu percaya diri. Bahkan percaya diriku berlebihan. Sayangnya aku hanya menyiapkan satu poin untuk dugaan sementara yang selalu ku elu-elukan, itulah karena aku terlalu percaya diri, padahal itu menjatuhkan. Aku runtuh mendapati kenyataan bahwa k yang kuharapkan ternyata adalah ‘k-ecewa’. Perlahan aku membangun lagi, menjalani permainan untuk mencapai ‘k i t a’. dan meskipun banyak jalanku yang kusembunyikan karena lelah, diujung aku menemukan lagi k dengan teka-teki yang lain. Aku sempat menyerah dengan permainan waktu, serasa begitu kecilnya aku mudah diombang-ambingkan waktu, padahal ia tak terlihat bukan? Namun kuikuti terus, karena aku lah yang harusnya mengatur waktu. Meskipun sekali lagi jawabannya bukan yang tepat. Kali ini kutemui k milikmu dengan ‘kenyamanan’, bukan, itu bukan untukku. Begitu semangatnya waktu mengajakku bermain. Begitu mudahnya ‘kenyamanan’ itu terbentuk.

Oh, Tuhan. Aku terlalu kecil ternyata untuk sebuah ‘k i t a’ ini. kusudahi meskipun belum sudah. Bukankah lebih baik mengganti ‘k i t a’ dengan kata lain, yang mungkin saja menjadi ‘khayalan’ atau ‘kekeliruan’ biarlah kutuliskan tanpa jarak. Supaya tak susah juga kau membacanya. Karena belum pernah kutemui yang hilang mencari yang kehilangan. Bukankah kau yang kehilangan satu tulang untuk rusukmu? Sungguh aku tak bisa mencari, karena aku ditakdirkan sebagai tulang yang hilang dari rusuk. Bisa ku ringkas sekarang? Sebelum aku beranjak dan keluar dari permainan yang rumit ini, waktu terlalu pintar untuk ku kalahkan –dalam hal permainan ini- huruf- huruf lain terlalu susah kutemukan.

Pada akhirnya akan kuringkaskan, bahwa permainan ini memainkan otak, bahkan hatiku juga. Ada pasrah yang bermodus ikhlas pada alam yang memegang kekuatan mutlak dibanding aku dan kau. Memisahkan dengan mudah, menyatukan dengan teka teki dan pada akhirnya aku benar-benar kalah setelah sebelumnya aku sempat menyerah meskipun sempat bangkit. Ini memang belum penetapannya, tapi aku punya ringkas yang sementara, biarlah k yang sudah kupunya menjadi ‘k-e-n-a-n-g-a-n’ tidak berjarak, tapi aku tak bisa menyatukannya dengan cepat, butuh setengah waktu, butuh separuh perjuangan dan butuh sebanyak-banyaknya ikhlas untuk mengikatnya menjadi ‘k-e-n-a-n-g-a-n’.


Misalkan pun pada akhirnya akan berakhir menjadi ‘k i t a’ bisa saja itu bukan ‘k i t a’ yang diikuti bahagia. Jikapun ‘k-e-n-a-n-g-a-n’ yang kuringkaskan akan berubah. Biarlah kekuatanmu saja yang merubahnya, mudahnya anggap saja bahwa kau sedang merevisi hasil dari uji coba, karena tidak ada hasil yang sekali benar, bisa saja ‘k-e-n-a-n-g-a-n’adalah proses dari ‘k i t a’ yang mungkin pernah kau harapkan juga. Bisa saja demikian, bisa saja kupatenkan ringkas dari perjalanan ini. Namun bisa saja kuserahkan pada alam lagi, yang mungkin saja bisa dikalahkan oleh kekuatan cinta jika kau berniat.