Rabu, 10 Februari 2016

aku bukan matahari dan bulan

Senja masih menyukai jingga, hingga berlalu dan berubah, tetap dengan setia menunggunya. Entah apa istimewanya tapi yang jelas ketika melihat mereka bertemu ada keindahan yang tak bisa dijelaskan. Tidak lama pertemuan keduanya berlangsung, dan tidak bisa jikalau keduanya egois melawan waktu. Karena sudah pernah kukatakan bahwa –waktu itu jahat, karena jika sudah berlalu tidak akan pernah kembali untuk sebentar saja mengulang-

Satu ketika matahari dengan malunya terbit untuk kehangatan, akan ada embun yang menghilang, demikianlah mereka selama hidupnya tak pernah bertemu, meski untuk saling berlalu. Berbeda denganku yang menemukan gadis yang duduk sendiri menahan air mata. Aku mungkin bukan pria penemu, tapi entah mengapa saat itu seolah aku menemukan hati yang kehilangan separuh lagi. dengan lembut aku mengulurkan tangan, meskipun mungkin dia tidak membutuhkannya. Tidak membutuhkan apa yang kurasa dia butuhkan dalam hidupnya. Seperti matahari, mungkin aku tak tahu saja bahwa yang dibutuhkannya juga adalah bulan. Sementara aku hanya matahari. Mengiringnya pergi kemana saja, dengan keadaan yang bagaimana saja. Tapi itulah awalnya. Hingga kuberanikan untuk membingkai sebuah lukisan bersamanya. Mungkin indah. Tapi entahlah menurut mata yang lain.

Seperti matahari, akupun punya masa waktu yang sudah ditentukan Sang Ilahi. Meski ku katakan tungu, tapi sayangnya, waktuku bukanlah waktu Tuhan. Karena Tuhan hanya menjatahkan aku pada mangkuk waktu yang kecil. Namun satu hal yang sudah aku tau, bahwa mangkuk yang aku punya, sudah ku isi bersamanya, dengan air jernih. Dan aku tak butuh mangkuk yang besar, yang akan bisa menjauhkan aku dengannya tanpa keinginanku.

Sekarang ku antarkan gadis itu ketempat dimana aku bertemu dengannya. Ditempat duduk yang pernah menemukan kami berdua. Bukan untuk mengembalikan apa yang sudah tidak kubutuhkan, aku hanya ingin merapikan dan mengembalikannya seperti awal kami bertemu. Sementara mangkuk yang aku punya itu, kusimpan tanpa perlu siapapun yang tahu. Bahkan dia, sebab aku ingin ketika sudah menjelang senja usiaku, aku mengisahkan hidupku yang biasa ini ternyata sudah melewati hal yang sangat amat luar biasa.

Ada sepenggal doa untuk waktu yang tak terlihat namun terus mengikuti, ada banyak terimakasih untuk waktu yang sudah jahat mempertemukan lalu memisahkan, dan ada sepasang jantung yang kini belajar untuk berdetak dengan normal untuk bersyukur. Bahwa tugas diepisode ini sudah selesai, dan ternyata Sang Ilahi membantu dua insan memulai dan mengakhiri dengan baik.


Aku-lah pria, yang pernah dengan lembut mencintai dan dengan indahnya dicintai, meski bukan untuk selamanya dan bukan untuk yang terbaik. Karena aku hanyalah matahari saja, sementara bumi tak selalu membutuhkan matahari.

Senin, 08 Februari 2016

Kado (senyum) untuk mereka-Ayah dan Ibu-

Aku sudah kembali pada duniaku yang sebenarnya, meski dibawah air hujan yang deras. Aku bersyukur karena ternyata Tuhan begitu masih mencintaiku, meskipun sempat aku tersesat jauh. Seperti mimpi, indah yang kulihat hanya sesaat menghampiri. Dan nyatanyaa memang sudah seperti demikian, karena Tuhan sudah tuliskan bahwa segala sesuatu akan ada masanya, entah itu sakit atau sehat, bahagia atau terluka, dan tersenyum ataupun menangis. Aku kembali kesini lagi, kulihat aku sudah semakin menua-kan pikiranku, bukan hiperbola tetapi sudah sepatutnya aku memang dewasa. Memikirkan apa yang menjadi sedih ayah dan ibuku. Menanggung apa yang sudah kewajibanku. Dan menyimpan apa yang tak perlu orang tau.

Kutipan kehidupan bukan dari orang lain, mengacakan diri juga bukan pada yang lain. Sebaris doa pengharapan bukan untuk diumbar-umbarkan, ‘cukup jelaskan pada Tuhan, seberapa sakit hatimu, seberapa deras air matamu, dan seberapa kuat jiwa itu dapat melewatinya dengan senyuman. Jangan ceritakan pada yang lain bagaimana air mata bukan lagi hanya menetes, tapi sudah tumpah. Bagaimana mulut senyum sementara menahan getar. Karena sebagian perebut oksigen itu hanya ingin tau untuk menjaga hidungnya agar tak berhenti bernapas’. Luka lamamu memang akan sembuh, tetapi luka baru yang akan muncul bukan lagi di tempat yang sama. Air mata akan datang melihat pasangan suami istri yang membesarkan tubuh yang belum bisa mengadokan senyum untuknya, akan menua dengan kulit keriput dan menelan pahitnya kesepian. Sementara tubuh tanpa kado senyuman itu tertawa terbahak-bahak ditengah gemerlap hasil keringatnya.

Dan jauh di dalam hati pasangan tua yang menelan sepi itu, berjuta tanya dilontarkan. ‘inikah upah dari keringat dan darah yang mengucur kemudian kering perlahan?’ ‘Inikah hidup yang dikadokan tiga kurcaci kecilku dulu?’ segeralah mengejar umurnya, sebelum semakin jauh terbawa waktu yang begitu jahat, karena sekali saja dia lewat, dia tidak akan pernah berputar kembali. Seandainya perasaanmu yang terlewatkan, Tuhan masih bisa menggantikannya dengan yang lain. Namun tetap, waktu tidak memberikan kesempatan kedua untuk menentukan jodoh. Tetapi tangan keriput yang terus berjuang, tidak akan pernah tergantikan oleh apapun, sekalipun nyawa taruhannya.

Kepada langit dititipkan pelangi sehabis hujan, hendaknya kepadamu juga dititipkan pelangi milik Ayah dan Ibu-mu. Disela napasmu, disela jemari, diantara jantungmu, dan didalam darahmu. Ada doa mengikat, meski jarak menghabiskan ribuan menit. Setidaknya ketika patah hati, hati tak sepenuhnya mati, karena cinta terbesar adalah mereka. Mereka yang mendekatkan ‘Adam’ untuk ‘Hawa-nya’, mereka yang mendekatkan ‘Hawa’ untuk ‘Adam-nya’ melalui doa tulus yang tak pernah dihitungnya.

Sampai aku bisa membaca yang tak terlihat, meski tergambar jelas pada raut wajah setiap orang disekitarku. Aku bisa membaca patahnya hati seorang ibu yang menangis takut menelan sepi. Terisak, seolah ia hidup sendiri di dunia ini. Padahal Tuhan selalu menjaganya, tanpa diminta.

Aku bisa membaca drama pengkhianatan disekitarku, diantara mata-mata yang seolah perduli padahal menertawakan, diantara tangan yang seolah ingin memeluk padahal ingin mendorong. Diantara napas yang bertanya seolah perhatian, sementara hanya ingin tau.

Namun ada 2 pasang mata yang tidak terlihat perduli tapi mendoakan dengan bercucuran tangis, ada 2 pasang tangan yang tidak memeluk, namun mendekap hangat didalam doa diam-diam, ada napas yang tidak pernah bertanya, tetapi selalu terengah-engah khawatir. Dialah mereka –orang yang mendapat gelar ‘orangtua’ ketika mereka memilikimu- yang menaruh kasih, dari memiliki hingga melepaskan. Melepaskan kurcaci kecil yang dulu merengek minta susu, sementara sekarang menangis memohon restu.


Biarlah sepi mereka tergantikan dengan ‘Adam’ atau ‘Hawa’mu yang juga mencintai bukan karena memilikimu, tetapi karena dia juga mencintai orangtuanya. Karena ketika Tuhan yang mengikatkan, dua keluarga akan terlihat satu, dan dua hati akan menyatu di dalam Tuhan yang satu.