Senin, 23 Maret 2015

Entahlah, aku terlalu peka atau mati rasa.

Karena untuk senja yang terlambat menyapa, akan ada matahari yang terus mengerti. Dan untuk hati yang lemah menunggu akan selalu ada tempat baru yang lebih menyatu. Teruntuk rintik hujan yang terus jatuh, meski suaramu tak terdengar tapi aku akan selalu merasa. Bahwa dinginmu masih sama, bahwa wujudmu masih sama. Sama ketika aku berada dibawah langit yang kemudian kau serbu dengan tidak sekedar rintik, tapi sudah berwujud guyuran deras. Disana dingin menelan hangat darinya. Disana aliranmu menghanyutkan senyum darinya. Disana semua bertumpu. Tidak menjadi beban, tapi sekedar rasa yang mengganjal.

Dan untuk tubuh yang dingin karena hawa yang bukan hanya sekedar sejuk. Tubuh yang butuh peluk hangat meski tak nyata saat ini. Untuk otak yang terus berputar mengelilingi tanya ‘Apakah hujan masih terus selemah ini?’ lemah karena telah kalah oleh dingin rindu yang terus membeku. Beku karena tanya lain yang belum terjawab. Tapi apalah aku, suara yang kumiliki tak cukup kuat untuk menggetarkan rindu, suara yang kumiliki tak cukup tangguh memecahkan rindu, suara yang aku punya tak cukup hangat untuk mencairkan bekunya rindu yang sebentar lagi menjadi bongkahan gunung es. Ada apa dengan hujan? Suaranya tak seperti biasa. Dinginnya tak seperti kemarin. Mengapa airnya seperti tak terasa? Atau hanya aku yang mati rasa karena menelan mentah-mentah rindu yang ternyata pahit ini? Meski sekalipun rasaku sudah dihidupkan kembali olehnya, tetap saja hujan kali ini akan menjadi salah satu cerita yang tak begitu indah. Karena waktu telah menggoreskan ingatan, bahwa hujan malam ini adalah lemah. Entah karena rinduku yang telalu kuat, atau aku yang terlanjur mati rasa oleh pahit ini.

Aku tak paham kenapa aku dirajai tanda tanya sebanyak ini. Padahal aku tak begitu lemah untuk terus berpikir menemukan jawabannya. Tapi kali ini aku sendiri memunculkan pertanyaan yang entah siapa bisa menjawabnya. Katakan saja bahwa aku sudah dicandu rindu yang hampir beku yang kemudian retak dengan sendirinya. Entah karena pertahananku terlalu kuat atau karena waktu yang memanaskan bumi terlalu cepat, hingga perlahan mematahkan bongkahannya. Ketika cairnya tertampung menjadi kolam, ketika itu juga ternyata aku akan ditenggelamkan hingga mati tanpa sebab, bukan lagi dihanyutkan kemudian tersangkut, tetapi akan mati. Ternyata rindu sekejam itu jika terus kubiarkan tumbuh. Tapi baiknya begitu agar tidak lagi aku merasakan rindu-rindu lain yang lebih kuat dari hujan, yang jika terus ada, dia akan menggantung leherku diranting zona yang tak berada dipermukaan tanah dan juga tak berada diatas langit. Bisakah waktu pastikan aku harus terhempas kebumi atau mati kemudian tinggal diawan? Bisakah ada yang memulihkan jiwa yang separuhnya mati karena terus meneriakan rindu yang tak bersaut ini? Bukan hanya pada sebuah pelukan, tapi juga untuk tawa dibawah atap yang menyatukan kehangatan. Aku seolah mati tapi hidup. Entahlah, hujan yang melemah, atau aku yang terlalu kuat. Entahlah, aku terlalu peka atau mati rasa.


Minggu, 15 Maret 2015

"..Tapi aku ingin seperti hujan.."



Kini aku mulai bersenandung lagi seirama dengan bunyi hujan dan yang ketukannya sama dengan ketukan detak nadi.  Untuk hujan yang bernyanyi, aku punya syair cinta yang mungkin berbelit. Bukan sengaja membuat semua seakan seperti teka-teki. Tapi karena aku ingin perlahan siapapun dia, mengerti bagaimana syairku mengungkap cinta. Kali ini aku menyukai awan yang gelap, yang tidak hitam itu. Aku menyukainya untuk mengabadikanmu dalam kelincahan jemari yang menari diatas keyboard laptop-ku yang memuja setiap kata untuk menggambarkan siapa hujan dan siapa kamu.
 
Hujan adalah kelembutan yang mengartikan ketulusan. Dinginnya lembut menyentuh kulitku, dan dengan waktu yang bersamaan aku menggenggam hangat yang didatangkannya. Hujan bukan tangisan dari langit yang gelap. Meski gelapnya adalah lelah, tapi hujan bukanlah duka untuk aku yang mencintaimu. Mencintaimu dengan ketulusan, seperti hujan yang tidak diminta tetapi datang. Seperti hujan yang meskipun menangis namun tetap bernyanyi. Bahkan untuk lagu yang tidak dia inginkan. Begitulah langit mencintai melalui butiran tetes air hujan. 

Mengapa langkahmu terhenti karena hujan? Sedangkan hujan tak pernah menghentikan pelangi untuk menghampirimu setelahnya. Mengapa kau dustakan seolah hujan kejam untuk langkahmu? Seolah senyummu terhambat oleh hujanmu? Dan untuk hatimu, apakah selalu hanya pelangi yang kau nantikan tanpa pernah menghargai hujan yang ternyata adalah pembawa pelangi itu? Biar saja kalian mencintai seperti pelangi. Yang hadir saat hujan sudah reda.

Tapi aku ingin seperti hujan. Hujan yang turun untuk ketulusannya pada bumi. Hujan yang tak hanya menghadirkan tetesan air murni dari langit. Tapi juga menghadirkan kamu untuk sebuah genggaman hangat, tidak hanya untuk tanganku, tapi juga hati yang menjaga cinta. Dan kepercayaan bahwa semua hujan menghantarkan pelangi. Aku ingin, meski tak sampai reda hujan yang aku turunkan, aku sudah melihat pelangi dalam perjalanan ini. Meski aku tak sampai diujung, aku sudah menjadi alasan mengapa pelangi harus ada untukmu.

Dan suatu saat ketika kita berdiri ditengah keheningan dibawah rintik hujan, ada tanda bahwa otak kita menyimpan keinginan sama yang sangat lembut yaitu untuk sekedar bahagia dalam waktu yang mungkin bagian kita, kemudian lantunan irama rintiknya yang berisi syair yang kita berdua ciptakan, terdengar lantang untuk sebuah kebanggaan, yang meski diam diantara banyak suara yang lepas namun tawa kita adalah kita berdua.