Selasa, 12 Mei 2015

aku tersesat didalam 'aku'

Karena malam begitu syahdu untuk memadukan tangan yang kemudian mengaminkan setiap kata yang ternyata adalah doa sederhana dengan kekuatan yang begitu hebat. Sebab aku tak mencari akbiat dari diamnya kita. Sebab langit selalu saja menggambarkan rona bahagia yang aku cintai. Bukan duka berselimut awan gelap, tapi pelangi yang lembut menyapa langit yang sembab. Begitulah tanganku menutup dan kemudian lututku bersimpuh menundukan kepala dengan bisikan bahwa aku harus kekuatan yang aku percaya. Jiwaku adalah bumi, yang berhias oleh langit dengan awannya, yang berlantai tanah dengan rumputnya sebagai alas tubuh ini. Dan segala keindahan yang menyatu untuk patut disyukuri.

Ada saja awan yang menurunkan hujan dengan suara yang mampu membunuh jiwa yang rindu untuk tertawa kembali. Seolah me-ninabobo-kan dengan merdu, namun ternyata membunuh merobek kalbu. Andai saja arah perjalananku tidak jauh menuju diriku sendiri, mungkin aku tak sibuk temukan dimana kau sembunyi, yang merasuk aku dengan hifa yang semakin mengikat aku. Aku yang perlahan akan tenggelam dalam tumpukan kertas bertuliskan air mata. Bukan untuk menangisimu, tapi untuk tetap tenang mengenangmu meski aku termakan hati menunggu suaramu menyapa.

Heran saja, harusnya sekarang musim sudah berganti, tidak lagi hujan. Harusnya cerah meski tak lagi lidah bergerak dengan suara yang saling menyapa. Menanyakan dengan nada yang merdu, melantunkan dengan hati yang tulus menyambut bahwa aku ada disini, dengan setangkai bunga yang selalu hadirnya kau harapkan. Sekarang kita hanya berbisik melalui doa didalam hati, dengan ‘amin’ dari jiwa yang sudah separuh layu, siapapun tidak mendengarnya, hanya kita atau bahkan itu tak akan pernah sampai pada pendengaranmu. Entahlah, itu untuk saling kita atau hanya didalam hati saja.

Kekuatanku hanya untuk membiarkan hati membisikan semua itu didalam aliran darah, meski sakit merasuk seluruh tubuhku yang kemudian menderu deras aliran darahku, aku lemah tak dapat ceritakan sakitku. Teka-tekimu mengambil seluruh tetesan darahku, merusak kekuatanku untuk tetap bertahan, kemudian aku tertimpa tanda tanya dipundakku ‘Mengapa bisa aku bisa membebaskannya merasuk kedalam jiwa, mengeroposi tulang yang akan hancur dimakan waktu?'

ternyata ada satu hal yang lupa kusadari, bahwa seperti itu-lah kita, yang diam-diam ternyata telah keropos. Yang diam-diam tanpa kalimat bahkan tanpa kata. Pikiran yang mengambang diantara lantunan musik pengiring tubuh berjalan pulang. Pulang kemudian diam. Diam yang kemudian tidur untuk bermimpi, memimpikan bahwa hidup tak sekeropos ini. Bahwa kisah kita tak serusak ini. Bahwa aku harusnya tak membiarkan tulangku rusak keropos karena hifa rindu yang perlahan mencandu aku.

Sekalinya aku terjebak, tidak hanya pada teka-teki ini, tapi sudah tersesat didalam diriku sendiri, untuk temukan bayangmu yang bersembunyi didalamku, yang kurasa masih tinggal, yang dulu saat kau pergi, kau tak membawa semua yang pantas untuk kau bawa pergi. Dan kurasa kau bahkan lupa membawa apa yang harusnya sangat pantas untuk kau bawa, yaitu bayanganmu.




Kamis, 07 Mei 2015

Pertemuan keduanya indah, meski dalam gelap.

Langit yang kadang gelap tanpa bintang ataupun bulan. Meski tak terus berdampingan dalam perputarannya, tapi tetap bahwa ada sinar yang saling menerangi. Begitu anggun menyapa, bukan dengan kebisingan tapi meski sayu sinar yang terpancar setidaknya mereka tak pernah melewatkan hari tanpa saling menyapa, dan meski hanya bertemu saat malam. Pertemuan mereka begitu indah.

Bulan tak meminta langit untuk terus menghadirkan bintang dalam setiap pancaran sinarnya, bulan tak memaksakan keindahannya harus dilengkapi warna lain dari sinar bintang. Tapi ia mengerti ketika bintang hadir tanpa diminta, ketika itu keindahan yang sejujurnya langit hadirkan. Sebagai kisah tanpa pamrih, bulan mencintai bintang melalui langit. Begitu tulus, meski warnanya tak selalu putih seperti mawar yang berdiam disudut meja itu. Didalam gelapnya hanya rasa yang mampu meraba bahwa ada huruf ketulusan yang berwarna putih, seperti seorang tunanetra yang membaca melalui jemari, seperti itu mereka yang merasa didalam kegelapan meski bukan hitam.

Bulan tak selamanya utuh dengan lingkar yang sempurna, tapi bintang tetap dan selalu seperti itu. itulah dia, yang selalu begitu indah bersinar meski buan terkadang murung dalam gelap yang tetap terlihat. Dan itulah alasan terhebat mengapa bulan yang terkadang tak bulat sempurna itu mencintai bintang yang tetap pada bentuk dan sinarnya untuk hadir setiap kesempatan yang tak pernah diduga olehnya. Jika bulan bisa berucap kata, mungkin sudah lama ia mengungkapkannya.

Mengungkapkan alasan ketika pertama kali menjatuhkan tetesan cinta yang tak terlihat itu. ‘mencintaimu karena bagaimanapun aku, kamu tetap bersinar seperti biasanya, kamu tetap berbentuk seperti biasanya, yang masih bisa terus memancarkan cahaya, yang masih bisa terus memperindah cahaya yang aku miliki. Walau terkadang bulatku tak sempurna, walau terkadang aku membentuk seram seperti sabit, walau terkadang aku setengah untuk terlihat. Tapi bintang tetap seperti bintang, besinar terus dan tak setengah-setengah untuk membalas bulan yang terkadang bahkan tak terlihat’.


Namun merasakan dengan meraba bagai tunanetra yang membaca huruf braile itu lebih indah dari pada membaca huruf yang jelas dengan mata. Dan aku bisa melihat keindahan gelap saat mata terpejam dan saraf ujung jemariku bekerja menyatukan titik demi titik pada tulisan brehurufkan braile yang merangkaikan arti dari sinar yang terus bersinar tanpa pernah redup itu.  Aku akan dapat menyimpannya didalam sarafku. Dan bulan yang masih mencintai bintang akan terus bersinar. Sedangkan bintang yang tak selalu hadir akan terus merasakan pancaran sinar darinya, yang tak selalu bulat dan utuh sempurna.