Karena malam begitu syahdu untuk
memadukan tangan yang kemudian mengaminkan setiap kata yang ternyata adalah doa
sederhana dengan kekuatan yang begitu hebat. Sebab aku tak mencari akbiat dari
diamnya kita. Sebab langit selalu saja menggambarkan rona bahagia yang aku
cintai. Bukan duka berselimut awan gelap, tapi pelangi yang lembut menyapa
langit yang sembab. Begitulah tanganku menutup dan kemudian lututku bersimpuh
menundukan kepala dengan bisikan bahwa aku harus kekuatan yang aku percaya. Jiwaku
adalah bumi, yang berhias oleh langit dengan awannya, yang berlantai tanah
dengan rumputnya sebagai alas tubuh ini. Dan segala keindahan yang menyatu untuk
patut disyukuri.
Ada saja awan yang menurunkan
hujan dengan suara yang mampu membunuh jiwa yang rindu untuk tertawa kembali. Seolah
me-ninabobo-kan dengan merdu, namun ternyata membunuh merobek kalbu. Andai saja
arah perjalananku tidak jauh menuju diriku sendiri, mungkin aku tak sibuk
temukan dimana kau sembunyi, yang merasuk aku dengan hifa yang semakin mengikat aku. Aku yang perlahan akan tenggelam
dalam tumpukan kertas bertuliskan air mata. Bukan untuk menangisimu, tapi untuk
tetap tenang mengenangmu meski aku termakan hati menunggu suaramu menyapa.
Heran saja, harusnya sekarang
musim sudah berganti, tidak lagi hujan. Harusnya cerah meski tak lagi lidah
bergerak dengan suara yang saling menyapa. Menanyakan dengan nada yang merdu,
melantunkan dengan hati yang tulus menyambut bahwa aku ada disini, dengan
setangkai bunga yang selalu hadirnya kau harapkan. Sekarang kita hanya berbisik
melalui doa didalam hati, dengan ‘amin’ dari jiwa yang sudah separuh layu,
siapapun tidak mendengarnya, hanya kita atau bahkan itu tak akan pernah sampai
pada pendengaranmu. Entahlah, itu untuk saling kita atau hanya didalam hati
saja.
Kekuatanku hanya untuk membiarkan
hati membisikan semua itu didalam aliran darah, meski sakit merasuk seluruh
tubuhku yang kemudian menderu deras aliran darahku, aku lemah tak dapat
ceritakan sakitku. Teka-tekimu mengambil seluruh tetesan darahku, merusak
kekuatanku untuk tetap bertahan, kemudian aku tertimpa tanda tanya dipundakku ‘Mengapa
bisa aku bisa membebaskannya merasuk kedalam jiwa, mengeroposi tulang yang akan hancur dimakan waktu?'
ternyata ada satu hal yang lupa kusadari, bahwa seperti itu-lah kita, yang diam-diam ternyata telah keropos. Yang diam-diam tanpa kalimat bahkan tanpa kata. Pikiran yang mengambang diantara lantunan musik pengiring tubuh berjalan pulang. Pulang kemudian diam. Diam yang kemudian tidur untuk bermimpi, memimpikan bahwa hidup tak sekeropos ini. Bahwa kisah kita tak serusak ini. Bahwa aku harusnya tak membiarkan tulangku rusak keropos karena hifa rindu yang perlahan mencandu aku.
Sekalinya aku terjebak, tidak hanya pada teka-teki ini, tapi sudah tersesat didalam diriku sendiri, untuk temukan bayangmu yang bersembunyi didalamku, yang kurasa masih tinggal, yang dulu saat kau pergi, kau tak membawa semua yang pantas untuk kau bawa pergi. Dan kurasa kau bahkan lupa membawa apa yang harusnya sangat pantas untuk kau bawa, yaitu bayanganmu.
ternyata ada satu hal yang lupa kusadari, bahwa seperti itu-lah kita, yang diam-diam ternyata telah keropos. Yang diam-diam tanpa kalimat bahkan tanpa kata. Pikiran yang mengambang diantara lantunan musik pengiring tubuh berjalan pulang. Pulang kemudian diam. Diam yang kemudian tidur untuk bermimpi, memimpikan bahwa hidup tak sekeropos ini. Bahwa kisah kita tak serusak ini. Bahwa aku harusnya tak membiarkan tulangku rusak keropos karena hifa rindu yang perlahan mencandu aku.
Sekalinya aku terjebak, tidak hanya pada teka-teki ini, tapi sudah tersesat didalam diriku sendiri, untuk temukan bayangmu yang bersembunyi didalamku, yang kurasa masih tinggal, yang dulu saat kau pergi, kau tak membawa semua yang pantas untuk kau bawa pergi. Dan kurasa kau bahkan lupa membawa apa yang harusnya sangat pantas untuk kau bawa, yaitu bayanganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar