Selasa, 08 November 2016

Terimakasih hujan

Hujan memang paling bisa. Tidak tahu dia punya kekuatan apa, tapi memang hujan yang paling bisa mengembalikan memori masa lampau atau bahkan mempercepat bayangan masa depan. Baru sebentar saja ia turun tapi aku sudah jauh mengenang bahakan membayangkan. Mengenang masa sulit yang pernah menghabiskan air mata maupun masa suka yang menyimpan tawa. Ini bukan hanya tentang kamu, tetapi juga tentang aku dan mereka. Baik masa sulit maupun masa sukanya.

Baru sebentar lalu rintiknya perlahan terdengar, tapi melodinya mengembalikan segala masa yang pernah kulalui bukan dengan sendirian. Saat banyak tangan yang rela terbuka tanpa diminta, saat banyak telinga yang tak pernah kuminta untuk mendengar, dan saat aku tergulung ombak air mata aku tak perlu mencari bahu mana untuk bersandar. Tapi itu dulu. Entahlah sekarang bagaimana. Entah harus menyalahkan siapa.

Rasanya ada gejolak dari dalam hati untuk menyalahkan waktu, ketika dia berputar maka banyak hal yang akan berlalu. Tapi jahat jika aku mengkambinghitamkan waktu, karena ini bukan salahnya. Dia sudah berputar sesuai kemampuannya, tidak dilebihkan atau dicepatkan. Mungkin yang salah adalah diri sendiri, ketika waktu berjalan justru saat itu kedewasaan kita sudah jauh berlari mendahului waktu yang semestinya.

Merubah diri, menutup hati –sementara membuka hati untuk penghuni lain- bahkan menghilang dengan perlahan.

Dan aku menyesalinya, aku bukan yang terhebat yang bisa membagi 24 jam waktuku ketika banyak hal yang bertambah untuk kupikirkan. Kita sama. Kalian punya 24 jam jatah perhari, dan begitu juga aku. Tapi sayang mungkin hanya sepersekian detik yang kita habisnya untuk sekilas mengingat waktu kita pernah pulang terlalu malam, waktu kita kehujanan tetapi malah tertawa, waktu kita menertawakan sesuatu padahal kita tak lebih sempurna.

Entahlah dewasa itu harus disyukuri atau dicaci maki. Untuk itu semua aku membutuhkan kotak besar dan gembok yang kuat. Untuk menempatkan kenangan indah namun tak perlu diingat lagi, untuk menyimpan rekaman tawa kalian yang mengejek itu, dan untuk semua proses perubahan dari tahun ke tahun yang justru menipiskan bukan untuk menebalkan percaya.

Terimakasih kedewasaan yang selalu dielu-elukan. Sekarang aku lebih menyukai sepi, dimana ada damai yang lebih berarti dibanding ramai yang menikam. Dimana aku hanya bercerita pada diri sendiri, mengenal jauh siapa sipemilik jari yang lebih kuat ini. Yang sejujurnya merindukan berpanas sambil memancing, yang merindukan berlari dikebun orang, yang merindukan menjadi buronan karena ketahuan kabur dari jadwal tidur siang. Dan yang tak mengenal sakit karena kehilangan tangan yang akan memeluk, kehilangan telinga untuk sekedar mendengar, dan bahu untuk bersandar yang semuanya pernah ada tanpa diminta.


Terimakasih waktu, menyempatkanku untuk mengucapkan ‘terimakasih’ yang memiliki kesan untuk mengakhiri...

Senin, 03 Oktober 2016

Surat Untuk Kopi di Kotamu

Pagi tadi jariku melekat pada keyboard laptop yang entah mengapa tiba-tiba ingin ku hidupkan. Lama aku tertegun didepannya dan menatap kosong layar yang tak berarti ini. kosong, seperti sebuah gelas yang berada disampingku. Kemudian aku mengingat bahwa beberapa hari lalu aku sempat membeli kopi hitam. Pagi ini begitu kosong, dan pahit. Untuk kesekian paginya aku bangun dengan tanpa daftar kegiatan yang harus ku selesaikan. Mataku kemudian menyusut jauh pada kenangan-kenangan yang pernah ada di kota ini, dianta riuh kemacetan berselimut debu. Aku pelan berbisik ‘aku pernah mencintai kota ini’ kemudian sekarang apa? Aku tak begitu damai disini meskipun aku tahu bahwa kemanapun tidak akan pernah ada kedamaian yang memaksa tinggal lebih lama. Hingga pada akhirnya aku mencaci kejam pilihanku.

Tinggal di kotamu ini seperti menghabiskan segelas kopi. Aku merasakan pahit dan manisnya. Aku merasakan efek sampingnya dan aku menikmati aromanya. Namun sekarang, kopi itu sudah habis dan tersisa hanya ampas dipinggiran gelasnya. Tidak bisa dinikmati, dia tertinggal hanya untuk memperindah saja. Memperindah aroma yang sudah pernah ku nikmati dan sekarang dia hanya memperindah gelas yang menampungnya.

Aku meneguk kopiku sedikit demi sedikit, terang saja aku harus menikmatinya sambil merangkai kisah di kotamu ini. Tegukan pertama dari gelasku terasa sangat hambar dan sedikit menggigit panasnya. Aku lupa bahwa kopi ini baru saja dibuat, hingga panasnya masih kuat. Meskipun aku tak mengingat berurutan semua kisah dari setiap tegukan kopiku, tapi aku masih mengingat setiap aroma yang menciptakan kisah apapun dari dalamnya.

Sekarang kopiku sudah habis, bahkan rasanya waktuku sudah habis juga di kotamu ini. sejujurnya aku ingin berpindah, dan memilih untuk tidak menikmati kopi di tempat ini lagi. Tapi ada hal yang membuatku berat melangkahkan kaki untuk beranjak jauh atau hanya beberapa langkah.  Dan aku tidak memahami itu. Aku rasa cukup untuk menikmati tenang dan riuh kotamu ini. Aku rasa cukup menciptakan sedih dan bahagia di kotamu ini.

Dan aku rasa aku mencintai kotamu ini namun aku juga membenci kenangan yang ada disini. Aku membenci setiap sudut yang membawaku kembali pada kisah yang sia-sia. Kesia-siaan yang membuatku menertawakan diriku sendiri. Entahlah, itu kesia-siaan yang pernah kuperjuangkan atau perjuangan yang pernah disia-siakan.


Pada langit kotamu kutitipkan pesan, bahwa banyak rahasia yang masih saja tetap menjadi rahasia. Pada udara kotamu kubisikkan kata, bahwa rencana Tuhan belum selesai. Maka pada bumi kotamu ku nyatakan bahwa aku masih akan berjanji sebelum engkau mengetahui janjiku itu.

Senin, 26 September 2016

anganku memang 'sekedar'

Matahari semakin dekat denganku, ketika aku terbangun dari mimpi tentang kita yang masih sama sebelum aku memejamkan mata. Jika kau tanya aku lebih menyukai malam atau siang, maka kujawab aku menyukai keduanya. Hanya, jika saja aku bisa melewati itu denganmu, menghabiskan malam dengan memimpikan masa depan kita, dan meneguk siang dengan merancang pondasi untuk bangungan masa depan kita. Karena saat itu aku sadar, aku dan kamu masih sebagai perancang yang terpisah oleh lautan.

Kau tak menahanku ketika akan meninggalkan kota tempat kita menghabiskan waktu hanya dengan mengunjungi toko buku, karena kau tau bahwa ada yang mengikat ketika aku sudah terpikat. Kita sudah menghabiskan waktu dibawah kota yang tak berawan ini, harusnya akan terasa panas tetapi setiap detiknya adalah sejuk untuk hatiku. Dan saat itu tiba, ketika aku harus meninggalkanmu untuk jarak beribu kilometer ada separuh yang hilang entah kemana. Tapi senyummu memberi pesan, bahwa kau akan menunggu dan baik-baik saja. Meskipun tak setiap saat ku habiskan dengan menikmati makanan yang kau buat, entahlah saat itu aku sedang jatuh sejatuhnya dalam cinta atau karena kau memiliki resep rahasia, yang jelas aku menikmati cinta yang sederhana ini.

180 malam dan siang ku nikmati tanpa melihat jelas wajahmu, meskipun sebelumnya sudah pernah kita lalui hal semacam ini, tapi tetap saja ada pilu rindu yang mengiris. Purnama sempat berubah, namun di telepon yang ku genggam suaramu tak pernah berubah. Sungguh ada kesungguhan yang menginginkanmu sekali saja mengantarku ke toko buku di negeri Jiran ini. Tapi kuasaku bukan sepenuhnya menguasai, tetap saja aku kalah dengan mimpiku yang terus mengolok.

Hingga pada saatnya aku yang menertawakan mimpi, karena berhasil mengindahkannya. Aku kembali, dan melihatmu denagn senyum dan tatapan yang sama. Orang yang menungguku disini, menantikan kepulanganku untuk sekedar merenung ketika malam tiba.

Pada saat itu kehadiranmu seperti kaca mata untuk mata yang sudah tak jelas lagi melihat, kau memperjelas penglihatanku. Aku berharap begitu. Namun ternyata purnama mengajakmu berubah, memberikanku kaca mata gelap membisukan mataku dan membiarkan aku berteriak. Aku meninggalkanmu meski kau sudah menunggu lama, aku menambah jarak kita dan menghindari toko buku yang sering kita kunjungi. Aku mengalahkan emosimu dengan amarahku yang lebih besar, lebih besar dari rasa cinta yang sudah lama aku pupuk.

Sekarang bolehkah aku sekedar memiliki angan untuk rindu padamu? Pada kotak bekal yang kau bawa untukku, pada toko buku yang kita kunjungi, pada setiap lagu yang kita dengar? Sekarang bolehkah aku mencemooh diriku yang berhasil lepas dari ikatanmu namun tak terarah lagi langkahku. Atau bolehkah aku membenci jarak yang membuat purnama dan kamu menjadi tak lagi sama.


Sekarang tolong jelaskan, bagaimana malammu dan siangmu yang kau habiskan dengan yang lain?

Jumat, 12 Agustus 2016

Alasannya menemukan pulang

Ada yang tersesat jauh di kolong langit ini, meskipun jika ia duduk menunggu belum tentu akan ada yang menjemputnya kemudian menghantarkannya pulang. Tahu kah kau, sejauh apapun ia tersesat dan sepenuh apapun ruang hatinya diisi oleh dogeng indah, tapi ada satu laci yang kecil namun padat terisi olehmu. Setebal apapun buku itu terisi, semua itu hanya dongeng yang tak nyata.

Jauh sudah waktu yang ia habiskan, dan akhirnya dia menemukan jalan pulangnya sendiri. Pulang dengan harapan, meskipun mematikan. Pulang dengan melihat kekalahannya yang kau tolak. Pulang dengan  mulut yang masih bungkam tanpa kesempatan untuk mengungkap. Pulang dengan rahasia yang akan terus menjadi rahasia...

Sejauh ini, semakin jauh dari harapan bahwa kau masih sama dengan yang dulu, yang berjuang sendiri menemukan pesan dibalik semua ketertutupannya menerimamu..

Ada sakit yang ia rasa, saat kutemui seluruh jiwanya diserang oleh ketidakberdayaan akan engkau. Dengan separuh lagi jiwa miliknya yang belum tercabik oleh pesan-pesan yang membunuh itu, dia berusaha menemukan jalan ini.

Jalan untuk pulang...

Berbicara cinta secara terus terang seperti jarak. Jarak bukan kilometer yang harus dilalui untuk sebuah kecupan hangat dikening. Tapi tentang seberapa kalipun kau sudah mengelilingi bumi yang bulat ini, kau tahu bahwa semua terbentuk dari hatinya. Dia-lah inti dari bumimu yang bulat. Itulah jarak, yang melepaskan kalian. Baginya itu indah, ketika dia mempersilahkanmu sejauh kau mau mengelilingi bumi ini namun kau tak lupa bahwa dirinya adalah inti dari segala tujuanmu. Serumit apapun jalan yang membuatmu tersesat kau akan kembali kesana, untuk memperkuat inti dari bumi-mu itu. Seperti kau yang mempersilahkannya melangkah jauh lebih berani, tapi dia tau cemasmu tak habis tentangnya yang pernah terjatuh, tersesat, entahpun terpeleset kedalam jurang. Asal kau tahu saja, dia suka caramu yang elegan, diammu yang penuh rahasia dan doamu yang diam namun kuat. Dia menyukai cara Tuhan mempertemukan kalian.

Itulah cinta yang terbayang pada otaknya, entah karena terlanjur seluruhnya terisi oleh khayalan tentang bahagia bersamamu, atau itulah standar untuk impian hidup lebih baik.

Apapun itu, duka yang dimilikinya semoga berhadiah suka yang dia harap itu kau, meskipun dalam bentuk yang lain, dalam posisi yang lain juga tapi ketetapannya memilihmu adalah beralaskan iman kepada Tuhan-nya.


Seperti fajar yang menemui senja, bumi bergerak perlahan namun akan tetap sampai pada waktu yang membuatnya indah,  kau pernah jauh dan pernah dekat. Namun pada akhirnya nanti kalian akan melekat.

Senin, 25 April 2016

'k i t a' ?

Kuringkas semua yang akan kusampaikan nanti diakhir perjalanan ini, bukan sebagai kesimpulan karena tak ada yang perlu disimpulkan. Ini bukan kisah semacam uji coba yang membutuhkan hasil akhir, yang harus dinyatakan kesimpulannya dalam diagram atau bahkan tabel yang mungkin sulit dimengerti namun mudah untuk dipahami. Ini adalah ‘k i t a’. Yang berspasi, berjarak antar huruf k menuju i menyambut t dan berakhir a. Lihatlah, jika diucapkan ‘k i t a’ terasa tak berjarak, namun segala yang terucap juga akan tertulis, mungkin pendengar lain mendengar bahwa ‘k i t a’ begitu mudah terbentuk, tapi untuk sebagian lain yang berperan sebagai pembaca ‘k i t a’ begitu susah untuk dibaca. Ada proses didalamnya, banyak arti dibelakangnya yang tak benar-benar selalu ‘k i t a’ dengan arti bahagia.

Perjalanan yang kuringkas menjadi ‘k i t a’ membuatku terkesan terlalu berani bagi sebagian orang, karena aku terlalu menantang untuk mengibaratkan itu sebagai dugaan sementara dari kisah yang bahkan tak kuinginkan ini. Aku mengejanya dengan susah, karena sesudah huruf k tak selalu huruf i yang muncul seperti yang aku inginkan. Pernah kutemui huruf-huruf lain yang mengikuti k, yang kusambung ternyata menjadi ‘k-ecewa’ tak berjarak, begitu cepat terangkai. Begitulah ‘kecewa’ datang seberani aku menyatakan dugaan sementara ini. Ku kira dengan menunggu agak lama, aku sudah menemukan ‘k i t a’ disini. Ternyata aku terlalu percaya diri. Bahkan percaya diriku berlebihan. Sayangnya aku hanya menyiapkan satu poin untuk dugaan sementara yang selalu ku elu-elukan, itulah karena aku terlalu percaya diri, padahal itu menjatuhkan. Aku runtuh mendapati kenyataan bahwa k yang kuharapkan ternyata adalah ‘k-ecewa’. Perlahan aku membangun lagi, menjalani permainan untuk mencapai ‘k i t a’. dan meskipun banyak jalanku yang kusembunyikan karena lelah, diujung aku menemukan lagi k dengan teka-teki yang lain. Aku sempat menyerah dengan permainan waktu, serasa begitu kecilnya aku mudah diombang-ambingkan waktu, padahal ia tak terlihat bukan? Namun kuikuti terus, karena aku lah yang harusnya mengatur waktu. Meskipun sekali lagi jawabannya bukan yang tepat. Kali ini kutemui k milikmu dengan ‘kenyamanan’, bukan, itu bukan untukku. Begitu semangatnya waktu mengajakku bermain. Begitu mudahnya ‘kenyamanan’ itu terbentuk.

Oh, Tuhan. Aku terlalu kecil ternyata untuk sebuah ‘k i t a’ ini. kusudahi meskipun belum sudah. Bukankah lebih baik mengganti ‘k i t a’ dengan kata lain, yang mungkin saja menjadi ‘khayalan’ atau ‘kekeliruan’ biarlah kutuliskan tanpa jarak. Supaya tak susah juga kau membacanya. Karena belum pernah kutemui yang hilang mencari yang kehilangan. Bukankah kau yang kehilangan satu tulang untuk rusukmu? Sungguh aku tak bisa mencari, karena aku ditakdirkan sebagai tulang yang hilang dari rusuk. Bisa ku ringkas sekarang? Sebelum aku beranjak dan keluar dari permainan yang rumit ini, waktu terlalu pintar untuk ku kalahkan –dalam hal permainan ini- huruf- huruf lain terlalu susah kutemukan.

Pada akhirnya akan kuringkaskan, bahwa permainan ini memainkan otak, bahkan hatiku juga. Ada pasrah yang bermodus ikhlas pada alam yang memegang kekuatan mutlak dibanding aku dan kau. Memisahkan dengan mudah, menyatukan dengan teka teki dan pada akhirnya aku benar-benar kalah setelah sebelumnya aku sempat menyerah meskipun sempat bangkit. Ini memang belum penetapannya, tapi aku punya ringkas yang sementara, biarlah k yang sudah kupunya menjadi ‘k-e-n-a-n-g-a-n’ tidak berjarak, tapi aku tak bisa menyatukannya dengan cepat, butuh setengah waktu, butuh separuh perjuangan dan butuh sebanyak-banyaknya ikhlas untuk mengikatnya menjadi ‘k-e-n-a-n-g-a-n’.


Misalkan pun pada akhirnya akan berakhir menjadi ‘k i t a’ bisa saja itu bukan ‘k i t a’ yang diikuti bahagia. Jikapun ‘k-e-n-a-n-g-a-n’ yang kuringkaskan akan berubah. Biarlah kekuatanmu saja yang merubahnya, mudahnya anggap saja bahwa kau sedang merevisi hasil dari uji coba, karena tidak ada hasil yang sekali benar, bisa saja ‘k-e-n-a-n-g-a-n’adalah proses dari ‘k i t a’ yang mungkin pernah kau harapkan juga. Bisa saja demikian, bisa saja kupatenkan ringkas dari perjalanan ini. Namun bisa saja kuserahkan pada alam lagi, yang mungkin saja bisa dikalahkan oleh kekuatan cinta jika kau berniat.

Selasa, 01 Maret 2016

Kesempatan Mencintai (lagi)

Romansa kehidupan yang terbayang tidak seindah yang kurasakan, tepat setelah pertemuan pertama yang tidak kita rencanakan aku membawa pulang senyumanmu yang begitu manis dan lembut sidik jemarimu yang mengajakku berdansa ditengah gelombang musik yang kala itu kurasa manis sekali. Tidak lama aku butuh waktu untuk menjatuhkan hati pada satu titik yang ku fokuskan, yaitu matamu. Setelah sorotan mata yang mampu kutangkap aku membawanya pada mimpi indahku malam itu, penuh dengan bayangan yang membuatku sudah amat bahagia. Terimakasih untuk pertemuan pertama yang mengesankan.

Karena ada saja waktu yang menempatkan bahwa matahari lebih berkuasa –meskipun pada waktunya saja- mungkin matahari yang kelam adalah pada saat itu, matahari yang mengantarkan surat perpisahan dengan kata yang mudah dimengerti namun terasa sakit. Kau pergi meninggalkan kota, tempat aku jatuh cinta padamu. Tempat kaki ku beriring membentuk pola yang indah bersama kakimu saat kita berdansa manja. Baru saja aku menanam benihnya, malah kau pilih untuk meninggalkan aku tanpa tau akan kapan kembali untuk sekedar berdansa kembali. Namun pada masanya tak semudah itu, hidup hanya untuk menangisi kepergian yang sia-sia olehmu. Ku mulai lagi dengan musik dansa yang lain, meski hati tak tersangkut oleh karena satupun gelombangnya. Ada banyak gelombang musik yang manis untuk ku dengar, tapi getarnya tak sekuat saat aku berdansa denganmu. Itulah alasan aku masih berharap meski aku berdansa dengan yang lain.

Seperti yang Tuhan katakan ‘mintalah, maka akan diberikan, ketuklah dan pintu akan dibukakan’ begitulah aku percaya tiap apa yang aku minta didalam doa, berharap Dia kembali mempertemukan aku denganmu untuk gelombang musik yang manis seperti waktu itu. Dan benar. Kita bertemu dengan keadaan yang sudah berbeda. Kau dengan kebesaranmu yang dibutuhkan siapapun, sementara aku dengan keluargaku yang membutuhkan apapun. Hingga kurasa aku dan keluargaku membutuhkanmu juga. Dengan yakin aku menjalani keinginanku, memahami bagaimana aku harus bisa mewujudkannya dengan indah. Tetap saja, setelah aku jauh melangkah hingga nafasku terengah, akan ada batu hingga badai yang menghalangi. Apa yang bisa aku lakukan selain menahan mulutku berkata ‘iya’ ketika kau meminta dengan manis hatiku sementara aku sudah diterjang badai. Kenyataan yang pahit adalah aku melepaskan apa yang aku cintai.

Aku melewatkan badai yang menerjangku saat aku benar-benar menginginkanmu menjadi palung hatiku. dan ternyata benar, seperti yang mereka katakan ‘saat aku dan kau bersama yang terlihat bukan hanya keindahan, tetapi juga cinta dan kasih sayang sehingga kemanapun jauhnya kita pergi cinta akan membawa kita pulang’. Kau pulang setelah ku biarkan pergi, meski sudah lama aku menantikan kali kedua untuk pertanyaan yang sama yang dulu pernah ku buang sia-sia.

Dengan sorotan mata yang masih sama, yang sudah lama pula kurindukan hingga aku pernah berpikir bahwa musim yang kualami yang tak pernah berganti adalah rindu. Kau mengatakannya lagi.

'Dengan separuh penderitaan, dengan separuh harapan, dan separuh jiwa tersiksa oleh kerinduan aku tidak akan pernah berhenti hingga kau mengucapkannya. Bahwa aku ingin separuh penderitaanku kau bahagiakan, separuh harapanku kau wujudkan, dan separuh jiwa yang disiksa kerinduan terobati, hanya oleh kamu.'


Dan siapa yang menolaknya untuk kedua kali, mereka tidak dapat melihat cinta dari sorotan mata yang masih sama, dari yang tidak memperjuangkan apapun hingga melangkah bersama untuk sebuah perjuangan. Dari sisi ini kutemukan bahwa masih ada keindahan dari sia-sianya menunggu lama yang kupikirkan.

Rabu, 10 Februari 2016

aku bukan matahari dan bulan

Senja masih menyukai jingga, hingga berlalu dan berubah, tetap dengan setia menunggunya. Entah apa istimewanya tapi yang jelas ketika melihat mereka bertemu ada keindahan yang tak bisa dijelaskan. Tidak lama pertemuan keduanya berlangsung, dan tidak bisa jikalau keduanya egois melawan waktu. Karena sudah pernah kukatakan bahwa –waktu itu jahat, karena jika sudah berlalu tidak akan pernah kembali untuk sebentar saja mengulang-

Satu ketika matahari dengan malunya terbit untuk kehangatan, akan ada embun yang menghilang, demikianlah mereka selama hidupnya tak pernah bertemu, meski untuk saling berlalu. Berbeda denganku yang menemukan gadis yang duduk sendiri menahan air mata. Aku mungkin bukan pria penemu, tapi entah mengapa saat itu seolah aku menemukan hati yang kehilangan separuh lagi. dengan lembut aku mengulurkan tangan, meskipun mungkin dia tidak membutuhkannya. Tidak membutuhkan apa yang kurasa dia butuhkan dalam hidupnya. Seperti matahari, mungkin aku tak tahu saja bahwa yang dibutuhkannya juga adalah bulan. Sementara aku hanya matahari. Mengiringnya pergi kemana saja, dengan keadaan yang bagaimana saja. Tapi itulah awalnya. Hingga kuberanikan untuk membingkai sebuah lukisan bersamanya. Mungkin indah. Tapi entahlah menurut mata yang lain.

Seperti matahari, akupun punya masa waktu yang sudah ditentukan Sang Ilahi. Meski ku katakan tungu, tapi sayangnya, waktuku bukanlah waktu Tuhan. Karena Tuhan hanya menjatahkan aku pada mangkuk waktu yang kecil. Namun satu hal yang sudah aku tau, bahwa mangkuk yang aku punya, sudah ku isi bersamanya, dengan air jernih. Dan aku tak butuh mangkuk yang besar, yang akan bisa menjauhkan aku dengannya tanpa keinginanku.

Sekarang ku antarkan gadis itu ketempat dimana aku bertemu dengannya. Ditempat duduk yang pernah menemukan kami berdua. Bukan untuk mengembalikan apa yang sudah tidak kubutuhkan, aku hanya ingin merapikan dan mengembalikannya seperti awal kami bertemu. Sementara mangkuk yang aku punya itu, kusimpan tanpa perlu siapapun yang tahu. Bahkan dia, sebab aku ingin ketika sudah menjelang senja usiaku, aku mengisahkan hidupku yang biasa ini ternyata sudah melewati hal yang sangat amat luar biasa.

Ada sepenggal doa untuk waktu yang tak terlihat namun terus mengikuti, ada banyak terimakasih untuk waktu yang sudah jahat mempertemukan lalu memisahkan, dan ada sepasang jantung yang kini belajar untuk berdetak dengan normal untuk bersyukur. Bahwa tugas diepisode ini sudah selesai, dan ternyata Sang Ilahi membantu dua insan memulai dan mengakhiri dengan baik.


Aku-lah pria, yang pernah dengan lembut mencintai dan dengan indahnya dicintai, meski bukan untuk selamanya dan bukan untuk yang terbaik. Karena aku hanyalah matahari saja, sementara bumi tak selalu membutuhkan matahari.

Senin, 08 Februari 2016

Kado (senyum) untuk mereka-Ayah dan Ibu-

Aku sudah kembali pada duniaku yang sebenarnya, meski dibawah air hujan yang deras. Aku bersyukur karena ternyata Tuhan begitu masih mencintaiku, meskipun sempat aku tersesat jauh. Seperti mimpi, indah yang kulihat hanya sesaat menghampiri. Dan nyatanyaa memang sudah seperti demikian, karena Tuhan sudah tuliskan bahwa segala sesuatu akan ada masanya, entah itu sakit atau sehat, bahagia atau terluka, dan tersenyum ataupun menangis. Aku kembali kesini lagi, kulihat aku sudah semakin menua-kan pikiranku, bukan hiperbola tetapi sudah sepatutnya aku memang dewasa. Memikirkan apa yang menjadi sedih ayah dan ibuku. Menanggung apa yang sudah kewajibanku. Dan menyimpan apa yang tak perlu orang tau.

Kutipan kehidupan bukan dari orang lain, mengacakan diri juga bukan pada yang lain. Sebaris doa pengharapan bukan untuk diumbar-umbarkan, ‘cukup jelaskan pada Tuhan, seberapa sakit hatimu, seberapa deras air matamu, dan seberapa kuat jiwa itu dapat melewatinya dengan senyuman. Jangan ceritakan pada yang lain bagaimana air mata bukan lagi hanya menetes, tapi sudah tumpah. Bagaimana mulut senyum sementara menahan getar. Karena sebagian perebut oksigen itu hanya ingin tau untuk menjaga hidungnya agar tak berhenti bernapas’. Luka lamamu memang akan sembuh, tetapi luka baru yang akan muncul bukan lagi di tempat yang sama. Air mata akan datang melihat pasangan suami istri yang membesarkan tubuh yang belum bisa mengadokan senyum untuknya, akan menua dengan kulit keriput dan menelan pahitnya kesepian. Sementara tubuh tanpa kado senyuman itu tertawa terbahak-bahak ditengah gemerlap hasil keringatnya.

Dan jauh di dalam hati pasangan tua yang menelan sepi itu, berjuta tanya dilontarkan. ‘inikah upah dari keringat dan darah yang mengucur kemudian kering perlahan?’ ‘Inikah hidup yang dikadokan tiga kurcaci kecilku dulu?’ segeralah mengejar umurnya, sebelum semakin jauh terbawa waktu yang begitu jahat, karena sekali saja dia lewat, dia tidak akan pernah berputar kembali. Seandainya perasaanmu yang terlewatkan, Tuhan masih bisa menggantikannya dengan yang lain. Namun tetap, waktu tidak memberikan kesempatan kedua untuk menentukan jodoh. Tetapi tangan keriput yang terus berjuang, tidak akan pernah tergantikan oleh apapun, sekalipun nyawa taruhannya.

Kepada langit dititipkan pelangi sehabis hujan, hendaknya kepadamu juga dititipkan pelangi milik Ayah dan Ibu-mu. Disela napasmu, disela jemari, diantara jantungmu, dan didalam darahmu. Ada doa mengikat, meski jarak menghabiskan ribuan menit. Setidaknya ketika patah hati, hati tak sepenuhnya mati, karena cinta terbesar adalah mereka. Mereka yang mendekatkan ‘Adam’ untuk ‘Hawa-nya’, mereka yang mendekatkan ‘Hawa’ untuk ‘Adam-nya’ melalui doa tulus yang tak pernah dihitungnya.

Sampai aku bisa membaca yang tak terlihat, meski tergambar jelas pada raut wajah setiap orang disekitarku. Aku bisa membaca patahnya hati seorang ibu yang menangis takut menelan sepi. Terisak, seolah ia hidup sendiri di dunia ini. Padahal Tuhan selalu menjaganya, tanpa diminta.

Aku bisa membaca drama pengkhianatan disekitarku, diantara mata-mata yang seolah perduli padahal menertawakan, diantara tangan yang seolah ingin memeluk padahal ingin mendorong. Diantara napas yang bertanya seolah perhatian, sementara hanya ingin tau.

Namun ada 2 pasang mata yang tidak terlihat perduli tapi mendoakan dengan bercucuran tangis, ada 2 pasang tangan yang tidak memeluk, namun mendekap hangat didalam doa diam-diam, ada napas yang tidak pernah bertanya, tetapi selalu terengah-engah khawatir. Dialah mereka –orang yang mendapat gelar ‘orangtua’ ketika mereka memilikimu- yang menaruh kasih, dari memiliki hingga melepaskan. Melepaskan kurcaci kecil yang dulu merengek minta susu, sementara sekarang menangis memohon restu.


Biarlah sepi mereka tergantikan dengan ‘Adam’ atau ‘Hawa’mu yang juga mencintai bukan karena memilikimu, tetapi karena dia juga mencintai orangtuanya. Karena ketika Tuhan yang mengikatkan, dua keluarga akan terlihat satu, dan dua hati akan menyatu di dalam Tuhan yang satu.