Aku sudah kembali pada duniaku
yang sebenarnya, meski dibawah air hujan yang deras. Aku bersyukur karena
ternyata Tuhan begitu masih mencintaiku, meskipun sempat aku tersesat jauh. Seperti
mimpi, indah yang kulihat hanya sesaat menghampiri. Dan nyatanyaa memang sudah
seperti demikian, karena Tuhan sudah tuliskan bahwa segala sesuatu akan ada
masanya, entah itu sakit atau sehat, bahagia atau terluka, dan tersenyum
ataupun menangis. Aku kembali kesini lagi, kulihat aku sudah semakin menua-kan
pikiranku, bukan hiperbola tetapi sudah sepatutnya aku memang dewasa. Memikirkan
apa yang menjadi sedih ayah dan ibuku. Menanggung apa yang sudah kewajibanku. Dan
menyimpan apa yang tak perlu orang tau.
Kutipan kehidupan bukan dari
orang lain, mengacakan diri juga bukan pada yang lain. Sebaris doa pengharapan
bukan untuk diumbar-umbarkan, ‘cukup jelaskan pada Tuhan, seberapa sakit
hatimu, seberapa deras air matamu, dan seberapa kuat jiwa itu dapat melewatinya
dengan senyuman. Jangan ceritakan pada yang lain bagaimana air mata bukan lagi
hanya menetes, tapi sudah tumpah. Bagaimana mulut senyum sementara menahan
getar. Karena sebagian perebut oksigen itu hanya ingin tau untuk menjaga
hidungnya agar tak berhenti bernapas’. Luka lamamu memang akan sembuh,
tetapi luka baru yang akan muncul bukan lagi di tempat yang sama. Air mata akan
datang melihat pasangan suami istri yang membesarkan tubuh yang belum bisa
mengadokan senyum untuknya, akan menua dengan kulit keriput dan menelan
pahitnya kesepian. Sementara tubuh tanpa kado senyuman itu tertawa
terbahak-bahak ditengah gemerlap hasil keringatnya.
Dan jauh di dalam hati pasangan
tua yang menelan sepi itu, berjuta tanya dilontarkan. ‘inikah upah dari
keringat dan darah yang mengucur kemudian kering perlahan?’ ‘Inikah hidup yang
dikadokan tiga kurcaci kecilku dulu?’ segeralah mengejar umurnya, sebelum
semakin jauh terbawa waktu yang begitu jahat, karena sekali saja dia lewat, dia
tidak akan pernah berputar kembali. Seandainya perasaanmu yang terlewatkan, Tuhan
masih bisa menggantikannya dengan yang lain. Namun tetap, waktu tidak
memberikan kesempatan kedua untuk menentukan jodoh. Tetapi tangan keriput yang
terus berjuang, tidak akan pernah tergantikan oleh apapun, sekalipun nyawa
taruhannya.
Kepada langit dititipkan pelangi
sehabis hujan, hendaknya kepadamu juga dititipkan pelangi milik Ayah dan
Ibu-mu. Disela napasmu, disela jemari, diantara jantungmu, dan didalam darahmu.
Ada doa mengikat, meski jarak menghabiskan ribuan menit. Setidaknya ketika
patah hati, hati tak sepenuhnya mati, karena cinta terbesar adalah mereka. Mereka
yang mendekatkan ‘Adam’ untuk ‘Hawa-nya’, mereka yang mendekatkan ‘Hawa’ untuk ‘Adam-nya’
melalui doa tulus yang tak pernah dihitungnya.
Sampai aku bisa membaca yang tak
terlihat, meski tergambar jelas pada raut wajah setiap orang disekitarku. Aku bisa
membaca patahnya hati seorang ibu yang menangis takut menelan sepi. Terisak,
seolah ia hidup sendiri di dunia ini. Padahal Tuhan selalu menjaganya, tanpa
diminta.
Aku bisa membaca drama
pengkhianatan disekitarku, diantara mata-mata yang seolah perduli padahal
menertawakan, diantara tangan yang seolah ingin memeluk padahal ingin
mendorong. Diantara napas yang bertanya seolah perhatian, sementara hanya ingin
tau.
Namun ada 2 pasang mata yang
tidak terlihat perduli tapi mendoakan dengan bercucuran tangis, ada 2 pasang
tangan yang tidak memeluk, namun mendekap hangat didalam doa diam-diam, ada
napas yang tidak pernah bertanya, tetapi selalu terengah-engah khawatir. Dialah
mereka –orang yang mendapat gelar ‘orangtua’ ketika mereka memilikimu- yang
menaruh kasih, dari memiliki hingga melepaskan. Melepaskan kurcaci kecil yang
dulu merengek minta susu, sementara sekarang menangis memohon restu.
Biarlah sepi mereka tergantikan
dengan ‘Adam’ atau ‘Hawa’mu yang juga mencintai bukan karena memilikimu, tetapi
karena dia juga mencintai orangtuanya. Karena ketika Tuhan yang mengikatkan,
dua keluarga akan terlihat satu, dan dua hati akan menyatu di dalam Tuhan yang
satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar