Rabu, 18 Februari 2015

Tentang 'aku' untuk rinduku

Tentang batu yang diam dan berat. Tentangnya yang berat dalam diam dibawah langit yang terkadang gelap hitam. Padahal gelap tak selamanya hitam, begitupun yang berat bukan hanya batu saja. Tapi batu hanya berat tanpa arti apapun. Kosong tak berkisah apapun. Begitupun setubuh jiwa yang berat namun kosong. Bahkan garis tangan yang bersautan tak mengartikan apapun untuk rongga yang dalam itu. rongga diantara tulang rusuk untuk tubuh yang kuat, tapi perlahan keropos untuk kisah gelap tanpa nama. Hanya aku dan kau dan kekosongan ini. Yang terkadang aku rindukan tapi bukan dirinya. Yang terkadang aku cari tapi bukan yang harusnya untukku. Apalah aku diantara berbukitan batu yang berat itu. Diantara tanjakan yang sering menjadi tempatmu mendaki, melatih kaki untuk melangkah lebih jauh. 

Mungkin juga tentang tanganku yang tak cukup untuk menghangatkan dingin dibadanmu, dingin dari air hujan yang dijatuhkan langit gelap dan berat oleh uap panas. Yang terjatuhkan untuk sebuah harapan penghapus panas dibumi ini. Aku butuh angin, untuk melayangkan angan bahwa aku tak sekedar batu diantara perbukitan batu yang lainnya. Yang berat hingga tak dapat digeser, yang kosong walau sebenarnya menjadi timpaan, meski hanya untuk sebuah beban ringan.

Untuk rindu yang kadang aku butuhkan, rindu yang membuat aku kosong dalam berat seperti batu namun padat tak berongga seperti harapanku yang padat menimpa rindu yang hanya sia-sia saja. Bahkan aku sudah memakan waktu membalikkan harapan bahwa aku yang akan habis dimakan waktu. Tapi seperti mengelak untuk mati karena rindu. Rindu untuk menjadikan kekosongan ini berarti indah. 

Apa aku hanya akan menjadi batu yang berat namun kosong itu (?) 

Yang begitu susah untuk digeser namun tak berguna untuk apapun. Yang terkadang terpakai jika untuk melemparkan penat saja. Oh, bukan, aku bukan seperti batu yang kosong namun padat dan berat itu. tapi aku seperti lukisan abstrak yang terkadang terlihat indah dimata pe-lihatnya. Yang salah satunya adalah ‘kau’. Dan bahkan tentang lukisan yang abstrak itu, ternyata aku sudah menjadi se-abstrak langit yang gelap meski bukan selamanya hitam. 

Apa aku ternyata hanya sekedar lukisan abstrak yang tak semua bisa melihat keindahannya (?)

Tentang abstraknya aku tak mampu ungkapkan, tentang kacaunya aku tak bisa muluskan. Aku segaris warna pada lukisan itu (mungkin). Terselip diantara warna lain yang berjuta keindahannya. Yang jika jeli, maka akan terlihat dimana letaknya. Pastinya garis itu hanya untuk pelengkap untuk rangkaian warna yang terbentuk menjadi lukisan abstrak, yang sekali lagi ‘keindahannya hanya untuk mata tertentu’

Namun apapun dia dalam lingkar hidup sepasang hati dan jantung itu, entah sebagai batu yang berat dan kosong ataupun lukisan abstrak yang keindahannya tertutupi itu, dia tetap rindu untuk kehadiran angin yang juga membawa kehangatan diantara ruang lima jari yang dia miliki. Rindu saat dingin tak hanya berselimutkan kain. Rindu untuk tidak menjadi batu dan lukisan abstrak diantara keindahan lain dalam 24 jam punyamu.

Selasa, 17 Februari 2015

Karena aku, tak selamanya 'kita'

Aku rindu untuk bersenandung denganmu. Dan aku akan ‘mati’ jika tak mendapat hangatmu. Dalam tiap detik yang akan berlalu aku selalu berharap untuk ditambahkan lembaran kosong untuk kita, agar masih banyak cerita yang harus kita ciptakan. Bukan untuk sekedar tertawa, tetapi juga untuk marah kemudian memaafkan, untuk membentak kemudian memeluk. Kuharap aku tak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah kita miliki bersama. Bahkan untuk memimpikan kalianpun aku tak pernah merasa rugi karena tidurku terganggu. 

Dan celah jemariku hanya untuk menggenggammu. Dan setiap huruf yang aku punya adalah tersusun untukmu. Apakah ada pengulangan masa muda yang pernah habis dimakan umur yang semakin menua. Bahkan gedung itu pun bisu ketika aku bertanya mengapa begitu cepat akan berlalu. Untuk sepasang pundak yang tegak menatap aku dihadirkan diantara kalian. Untuk sebuah kebohongan yang malaikatku sampaikan aku diantarkan untuk kalian. Kebohongan dari segala lelah mereka, kebohongan dari segala senyum mereka yang mengatakan ‘kami baik-baik saja’. Sengaja warna dibalik hidup kita berbeda, dari segala busana yang kita kenakan, inilah aku yang akan merindukan bahwa aku pernah tertawa bersama kalian, bahwa aku pernah ditertawai oleh kalian, dan bahwa aku pernah menertawakan yang lain bersama kalian. 

Untuk senja yang akan menghampiri
Aku menuliskannya bukan diatas pasir pantai yang jika ombak datang maka tulisan itu akan hilang. Aku menulisnya jauh didalam, menggoreskannya kuat dengan darah. Dan meneriakkannya dengan lantang, agar tak hanya yang melihat yang mengetahui. Tapi juga yang berlalu lalang juga mendengarnya. Kali ini hadirnya bukan seperti pelangi sehabis hujan, yang memang indah, tetapi hanya sebentar. Bahkan pula bukan seperti senja, yang setiap hari datang tapi hanya sesekali. Ikatan ini tak berperumpamaan, karena begitu dia terjalin tanpa sengaja.

Dan untuk bulan yang akan memberi cahaya
Aku tidak menceritakannya seperti dongeng sebelum tidur. Tapi akan berkisah untuk masa tuaku kelak, bahwa sekarang aku pernah bahagia tanpa sebab kecuali karena mereka. Begitulah harusnya, yang semoga tak hanya separuh saja ada kehangatan dibawah bulan yang datangnya berselimut langit gelap.

Bahkan matahari yang akan menyambut, bukan hanya aku dengan raut wajah yang kelak entah kapan, tapi pasti akan menua. Menua habis termakan waktu yang tidak kusesali habisnya, karena aku habiskan bersama kalian.

Sebelum sebongkah rindu yang akan membesar, aku harus sudah memiliki banyak cerita supaya aku tak pernah menyesal mengenalmu hanya menghasilkan satu kenagan saja.