Minggu, 04 Oktober 2015

Kamu dan cintamu adalah kenyataan yang rasa mimpi...

Kurang tegar apa aku? Mengetahui bahwa kelak apa yang sudah menjadi kebiasaanku akan hilang. Cuma aku yang tetap tinggal disini dan melihatmu pergi sambil melambaikan tangan. Meski diam, wajahmu akan menggambarkan kesedihan dan meninggalkan kenangan. Entah bisa atau tidak aku berdamai dengan masa itu. Kamu. Yang akan menjadi masa laluku kelak. Meskipun begitu aku tidak akan menanyakan ‘Mengapa kau menjatuhkan hati sejatuh-jatuhnya padaku, sementara pada ujungnya kau akan pergi?’ Karena aku paham. Mataku melihatnya, telingaku mendengarnya, lalu hati dan otakku berimbang memikirkannya.

Kasihmu bukan kegelapan, tapi aku seolah lilin yang menerangimu dan begitu juga kau. Aku memberikan cahaya, tetap bersinar meskipun aku tahu bahwa waktuku akan habis jika aku selalu menerangimu. Yang tersisa hanya lelehan yang akan membeku. Anggap saja itu kenangan. Tetapi ingat bahwa aku akan tetap memberimu pengingat bahwa aku pernah menjadi lilinmu. Dan kau juga begitu untukku.

Seperti ada yang nyeri ketika harus keluar dari pintu kemudian melangkah lalu melihat ternyata ‘aku’ adalah ‘AKU’ yang tidak sepadan denganmu. Meskipun tidak sampai diujung, tapi aku dan kamu serta mereka sudah tersirat digaris tanganku. Bahwa pada usiaku ini aku ditempatkan dikeadaan ini dengan tawa dan air mata yang seimbang.

Hanya kita yang tidak seimbang. . .

Aku tidak seimbang, antara hati dan otakku. Kadang otakku mendominasi hingga aku pernah menyerah, menyerahkan aku pada alam dan membiarkan alam menghakimi aku. Menghakimi hatiku yang buta, yang meraba, yang begitu sakit jika semenit saja waktu terbuang tanpa kesan darinya sementara tidak pernah ada prediksi bahwa aku bisa memakan waktu dan membaginya denganmu selamanya.

Kenyataan dan mimpipun tidak seimbang, tak ada yang bisa menjaminkan apapun. Dan aku merasa melayang diantara bumi dan langit. Antara kenyataan dan mimpi. Kita belum saja tertampar oleh kenyataan, karena bagian waktu kita masih untuk bermimpi. Kita tidak begitu seimbang. Sebenarnya ini tidak sakit, tapi hanya perih saja, dan itu permanen.

Bahkan berulang kali aku berusaha mengalahkan waktu, menentang aku sendiri. Ternyata sama kuatnya dengan perih yang terus terasa. Aku dan kamu adalah tidak seimbang. Aku dan rasaku serta egoisku adalah perih. Kamu dan cintamu adalah kenyataan yang rasa mimpi...


Begitulah ternyata aku bukan penolong yang sepadan dengamu...

Senin, 24 Agustus 2015

Aku meyakini ada keindahan untuk ‘kita’



Seperti yang pernah kutuliskan, aku ingin menjadi hujan yang menghadirkan pelangi. Aku ingin mengingat kembali mengapa aku memulai, mengapa aku mempersilahkanmu masuk tanpa syarat. Akan kuulang. Aku mencintaimu. Mencintai segala kenyamanan yang kurasa.

Untuk kesedihanmu aku miliki tangan dan pundak yang akan menyamankan. Meski tak seutuhnya gundahmu hilang dalam sekejap, setidaknya aku tak menertawakan kejatuhanmu. Selayaknya hujan yang memberi air membasahi tanah, selalu ada makhluk yang membencinya, sedangkan ada banyak nyawa membutuhkan hujan turun. Begitu mungkin hadirnya aku dulu, sebelum seutuhnya hatimu melekat padaku. Hingga kini, kita bagai langit dan bumi yang selalu beriringan kemanapun, yang bayangnya pun selalu diikuti matahari. Untuk langkahmu yang akan semakin jauh, aku punya ucapan yang tak pernah lelah untuk aku katakan. Dan untuk setiap pergimu, ada pintu yang selalu terbuka menunggu kepulanganmu walau entah darimana saja. Aku mungkin takkan terlelap hingga engkau tiba diperaduanmu. Itu masih kulakukan hingga kini. Dan setiap khawatirku, itu seperti ibu yang mengkhawatirkan anaknya ketika belum pulang. Untuk doamu, aku selalu memiliki ‘amin’ meski kusampaikan pada Tuhan-ku. Aku meyakini ada keindahan untuk ‘kita’.

Seperti biasa malam selalu mengindahkan tidur dengan segala mimpi indah, dan langit seolah bercerita dalam mimpiku bahwa ada kisah yang sudah hampir membosankan, sejenak saja aku terbangun, meski awalnya indah tapi itu akan menjadi nyata yang buruk jika terjadi. Aku ingin malam menceritakan kembali bagaimana aku jatuh cinta. Tidak justru diam dan mempersilahkan aku semakin mendiami aku didalam hal yang sudah sangat terlalu biasa. Membiarkan aku lelah bersandar pada dinding yang dingin. Padahal malam mengerti apa yang tak bisa aku ucapkan ketika aku mempersilahkanmu masuk tanpa syarat. Dan karena malam aku selalu ingin berada dalam ingatanmu. Bukankah seharusnya kisah ini tak boleh hampa? Untuk itulah malam harusnya memutar kembali alasan mengapa aku mengikatkan diri padanya.

Ada rindu dari kapal yang berlayar jauh ditengah laut, yaitu senja. Senja yang mengembalikannya ketepian, mempersilahkannya untuk tidur dan bermimpi tentang bagaimana pagi datang dan kapal harus mulai berlayar, meski berulang ia tak pernah bosan karena ada keindahan laut yang dilihatnya. Aku ingin begitu, melihat keindahan yang kita punya setiap kali kita mengingat alasan untuk jatuh cinta. Memutarnya kembali dilangit malam sebelum tidurku, karena ternyata aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta pada apa yang selalu dia katakan meski dulu belum saling menggengam padahal sudah menjaga melalui mata. Aku jatuh cinta pada apa yang tak pernah berwujud namun selalu menjadi hal yang aku rindukan. Hingga aku jatuh cinta pada apapun yang saling membuat kita marah karena cemburu. Dan seperti langit yang merindukan matahari setiap malamnya.



Selasa, 12 Mei 2015

aku tersesat didalam 'aku'

Karena malam begitu syahdu untuk memadukan tangan yang kemudian mengaminkan setiap kata yang ternyata adalah doa sederhana dengan kekuatan yang begitu hebat. Sebab aku tak mencari akbiat dari diamnya kita. Sebab langit selalu saja menggambarkan rona bahagia yang aku cintai. Bukan duka berselimut awan gelap, tapi pelangi yang lembut menyapa langit yang sembab. Begitulah tanganku menutup dan kemudian lututku bersimpuh menundukan kepala dengan bisikan bahwa aku harus kekuatan yang aku percaya. Jiwaku adalah bumi, yang berhias oleh langit dengan awannya, yang berlantai tanah dengan rumputnya sebagai alas tubuh ini. Dan segala keindahan yang menyatu untuk patut disyukuri.

Ada saja awan yang menurunkan hujan dengan suara yang mampu membunuh jiwa yang rindu untuk tertawa kembali. Seolah me-ninabobo-kan dengan merdu, namun ternyata membunuh merobek kalbu. Andai saja arah perjalananku tidak jauh menuju diriku sendiri, mungkin aku tak sibuk temukan dimana kau sembunyi, yang merasuk aku dengan hifa yang semakin mengikat aku. Aku yang perlahan akan tenggelam dalam tumpukan kertas bertuliskan air mata. Bukan untuk menangisimu, tapi untuk tetap tenang mengenangmu meski aku termakan hati menunggu suaramu menyapa.

Heran saja, harusnya sekarang musim sudah berganti, tidak lagi hujan. Harusnya cerah meski tak lagi lidah bergerak dengan suara yang saling menyapa. Menanyakan dengan nada yang merdu, melantunkan dengan hati yang tulus menyambut bahwa aku ada disini, dengan setangkai bunga yang selalu hadirnya kau harapkan. Sekarang kita hanya berbisik melalui doa didalam hati, dengan ‘amin’ dari jiwa yang sudah separuh layu, siapapun tidak mendengarnya, hanya kita atau bahkan itu tak akan pernah sampai pada pendengaranmu. Entahlah, itu untuk saling kita atau hanya didalam hati saja.

Kekuatanku hanya untuk membiarkan hati membisikan semua itu didalam aliran darah, meski sakit merasuk seluruh tubuhku yang kemudian menderu deras aliran darahku, aku lemah tak dapat ceritakan sakitku. Teka-tekimu mengambil seluruh tetesan darahku, merusak kekuatanku untuk tetap bertahan, kemudian aku tertimpa tanda tanya dipundakku ‘Mengapa bisa aku bisa membebaskannya merasuk kedalam jiwa, mengeroposi tulang yang akan hancur dimakan waktu?'

ternyata ada satu hal yang lupa kusadari, bahwa seperti itu-lah kita, yang diam-diam ternyata telah keropos. Yang diam-diam tanpa kalimat bahkan tanpa kata. Pikiran yang mengambang diantara lantunan musik pengiring tubuh berjalan pulang. Pulang kemudian diam. Diam yang kemudian tidur untuk bermimpi, memimpikan bahwa hidup tak sekeropos ini. Bahwa kisah kita tak serusak ini. Bahwa aku harusnya tak membiarkan tulangku rusak keropos karena hifa rindu yang perlahan mencandu aku.

Sekalinya aku terjebak, tidak hanya pada teka-teki ini, tapi sudah tersesat didalam diriku sendiri, untuk temukan bayangmu yang bersembunyi didalamku, yang kurasa masih tinggal, yang dulu saat kau pergi, kau tak membawa semua yang pantas untuk kau bawa pergi. Dan kurasa kau bahkan lupa membawa apa yang harusnya sangat pantas untuk kau bawa, yaitu bayanganmu.




Kamis, 07 Mei 2015

Pertemuan keduanya indah, meski dalam gelap.

Langit yang kadang gelap tanpa bintang ataupun bulan. Meski tak terus berdampingan dalam perputarannya, tapi tetap bahwa ada sinar yang saling menerangi. Begitu anggun menyapa, bukan dengan kebisingan tapi meski sayu sinar yang terpancar setidaknya mereka tak pernah melewatkan hari tanpa saling menyapa, dan meski hanya bertemu saat malam. Pertemuan mereka begitu indah.

Bulan tak meminta langit untuk terus menghadirkan bintang dalam setiap pancaran sinarnya, bulan tak memaksakan keindahannya harus dilengkapi warna lain dari sinar bintang. Tapi ia mengerti ketika bintang hadir tanpa diminta, ketika itu keindahan yang sejujurnya langit hadirkan. Sebagai kisah tanpa pamrih, bulan mencintai bintang melalui langit. Begitu tulus, meski warnanya tak selalu putih seperti mawar yang berdiam disudut meja itu. Didalam gelapnya hanya rasa yang mampu meraba bahwa ada huruf ketulusan yang berwarna putih, seperti seorang tunanetra yang membaca melalui jemari, seperti itu mereka yang merasa didalam kegelapan meski bukan hitam.

Bulan tak selamanya utuh dengan lingkar yang sempurna, tapi bintang tetap dan selalu seperti itu. itulah dia, yang selalu begitu indah bersinar meski buan terkadang murung dalam gelap yang tetap terlihat. Dan itulah alasan terhebat mengapa bulan yang terkadang tak bulat sempurna itu mencintai bintang yang tetap pada bentuk dan sinarnya untuk hadir setiap kesempatan yang tak pernah diduga olehnya. Jika bulan bisa berucap kata, mungkin sudah lama ia mengungkapkannya.

Mengungkapkan alasan ketika pertama kali menjatuhkan tetesan cinta yang tak terlihat itu. ‘mencintaimu karena bagaimanapun aku, kamu tetap bersinar seperti biasanya, kamu tetap berbentuk seperti biasanya, yang masih bisa terus memancarkan cahaya, yang masih bisa terus memperindah cahaya yang aku miliki. Walau terkadang bulatku tak sempurna, walau terkadang aku membentuk seram seperti sabit, walau terkadang aku setengah untuk terlihat. Tapi bintang tetap seperti bintang, besinar terus dan tak setengah-setengah untuk membalas bulan yang terkadang bahkan tak terlihat’.


Namun merasakan dengan meraba bagai tunanetra yang membaca huruf braile itu lebih indah dari pada membaca huruf yang jelas dengan mata. Dan aku bisa melihat keindahan gelap saat mata terpejam dan saraf ujung jemariku bekerja menyatukan titik demi titik pada tulisan brehurufkan braile yang merangkaikan arti dari sinar yang terus bersinar tanpa pernah redup itu.  Aku akan dapat menyimpannya didalam sarafku. Dan bulan yang masih mencintai bintang akan terus bersinar. Sedangkan bintang yang tak selalu hadir akan terus merasakan pancaran sinar darinya, yang tak selalu bulat dan utuh sempurna. 

Jumat, 24 April 2015

Meski bukan untuk aku petik

Aku menemukanmu diantara semak belukar yang sering aku lalui. Diantara ruang yang selalu aku singgahi. Bukan hanya sekali aku melihatmu ditempat itu, sudah berkali-kali dan jariku tak cukup untuk menghitung pertemuan yang dulu tak berarti itu. Percakapan kita dulu pun jika digabungkan nada demi nada juga sudah bisa menciptakan musik yang menarik. Tapi semua itu dulu, sebelum aku mengerti apa arti ilalang yang kau beri, dan setangkai mawar merah yang kini sudah mengering. Seandainya aku menghargai setiap pertemuan dalam pertemanan kita dulu. Mungkin aku akan merekamnya erat meski bukan dengan kamera yang canggih. Seperti daun yang hampir kering, aku pernah melayang terbawa angin, tersesat padahal bukan ditempat yang belum aku datangi. Seperti kosong yang melayang diudara. Aku menikmati kekeringan dan kekosongan itu. aku melihat diriku yang jatuh dengan indah diantara cemooh dari ribuan suara.

Aku mengulang untuk berjalan dijalan yang sering aku lalui. Aku menikmati perjalanan itu, dan kemudian melihatmu seperti bunga yang indah diantara semak belukar. Seperti melihat warnamu bersinar terang dengan indah. Aku menikmati warna dan keindahan itu. Warna baru untuk kanvas kehidupan yang akan aku warnai. Dan keindahan baru untuk mata yang akan menangkapmu menjadi sebuah kisah. Meski aku tak boleh memetikmu dari sang pemilik yang tak aku ketahui. Tapi syukurku adalah bisa menikmati keindahan bumi bersama warna yang akan terpancar jernih. Karena cukup menjadi dadu yang akan dipermainkan waktu. Dan seperti terlihat tapi tak sadar. Aku ingin sekarang memanggilmu dengan sesukaku, merangkulmu dengan semauku, memarahimu dengan semua luapan emosiku, dan menceritakanmu meski bukan pada orang lain, tapi menyuarakanmu kedalam satu bab untuk buku kenanganku kelak, yang ketika aku rindu aku akan membuka dan membaca betapa kau sudah menggoreskan keindahan pada kanvas ini.

Hampir pagiku kunikmati dengan semangkuk rindu sebagai sarapan penghantar kegiatanku. Tapi sekarang seolah dimeja makanku adalah kamu yang menunggu diujung sana meski tak terlihat. Hampir aku menutup kisah untuk perjalanan yang melelahkan ini. Tapi aku menemukanmu sebagai pemetik kekonyolan yang aku ketahui. Karena sederhana yang kau maksud adalah aku dan kamu berjalan saling menggenggam sebagai pemberi bahagia untuk masing-masing jiwa dari mulai hanya sekedar ilalang hingga indah menjadi mawar.


Dan dari kisah ini, jemariku dikuatkan untuk menceritakan dengan lebih indah. Meski suara yang aku punya tak pernah sekuat jemari. Tapi aku sudah menyimpan saksi untuk apa yang aku katakan. Bukan dengan sembarang aku memilih waktu untuk dapat dihabiskan bersama. Tapi aku membagi sebagian waktuku untuk kuhabiskan bersama orang yang mencariku.

Senin, 23 Maret 2015

Entahlah, aku terlalu peka atau mati rasa.

Karena untuk senja yang terlambat menyapa, akan ada matahari yang terus mengerti. Dan untuk hati yang lemah menunggu akan selalu ada tempat baru yang lebih menyatu. Teruntuk rintik hujan yang terus jatuh, meski suaramu tak terdengar tapi aku akan selalu merasa. Bahwa dinginmu masih sama, bahwa wujudmu masih sama. Sama ketika aku berada dibawah langit yang kemudian kau serbu dengan tidak sekedar rintik, tapi sudah berwujud guyuran deras. Disana dingin menelan hangat darinya. Disana aliranmu menghanyutkan senyum darinya. Disana semua bertumpu. Tidak menjadi beban, tapi sekedar rasa yang mengganjal.

Dan untuk tubuh yang dingin karena hawa yang bukan hanya sekedar sejuk. Tubuh yang butuh peluk hangat meski tak nyata saat ini. Untuk otak yang terus berputar mengelilingi tanya ‘Apakah hujan masih terus selemah ini?’ lemah karena telah kalah oleh dingin rindu yang terus membeku. Beku karena tanya lain yang belum terjawab. Tapi apalah aku, suara yang kumiliki tak cukup kuat untuk menggetarkan rindu, suara yang kumiliki tak cukup tangguh memecahkan rindu, suara yang aku punya tak cukup hangat untuk mencairkan bekunya rindu yang sebentar lagi menjadi bongkahan gunung es. Ada apa dengan hujan? Suaranya tak seperti biasa. Dinginnya tak seperti kemarin. Mengapa airnya seperti tak terasa? Atau hanya aku yang mati rasa karena menelan mentah-mentah rindu yang ternyata pahit ini? Meski sekalipun rasaku sudah dihidupkan kembali olehnya, tetap saja hujan kali ini akan menjadi salah satu cerita yang tak begitu indah. Karena waktu telah menggoreskan ingatan, bahwa hujan malam ini adalah lemah. Entah karena rinduku yang telalu kuat, atau aku yang terlanjur mati rasa oleh pahit ini.

Aku tak paham kenapa aku dirajai tanda tanya sebanyak ini. Padahal aku tak begitu lemah untuk terus berpikir menemukan jawabannya. Tapi kali ini aku sendiri memunculkan pertanyaan yang entah siapa bisa menjawabnya. Katakan saja bahwa aku sudah dicandu rindu yang hampir beku yang kemudian retak dengan sendirinya. Entah karena pertahananku terlalu kuat atau karena waktu yang memanaskan bumi terlalu cepat, hingga perlahan mematahkan bongkahannya. Ketika cairnya tertampung menjadi kolam, ketika itu juga ternyata aku akan ditenggelamkan hingga mati tanpa sebab, bukan lagi dihanyutkan kemudian tersangkut, tetapi akan mati. Ternyata rindu sekejam itu jika terus kubiarkan tumbuh. Tapi baiknya begitu agar tidak lagi aku merasakan rindu-rindu lain yang lebih kuat dari hujan, yang jika terus ada, dia akan menggantung leherku diranting zona yang tak berada dipermukaan tanah dan juga tak berada diatas langit. Bisakah waktu pastikan aku harus terhempas kebumi atau mati kemudian tinggal diawan? Bisakah ada yang memulihkan jiwa yang separuhnya mati karena terus meneriakan rindu yang tak bersaut ini? Bukan hanya pada sebuah pelukan, tapi juga untuk tawa dibawah atap yang menyatukan kehangatan. Aku seolah mati tapi hidup. Entahlah, hujan yang melemah, atau aku yang terlalu kuat. Entahlah, aku terlalu peka atau mati rasa.


Minggu, 15 Maret 2015

"..Tapi aku ingin seperti hujan.."



Kini aku mulai bersenandung lagi seirama dengan bunyi hujan dan yang ketukannya sama dengan ketukan detak nadi.  Untuk hujan yang bernyanyi, aku punya syair cinta yang mungkin berbelit. Bukan sengaja membuat semua seakan seperti teka-teki. Tapi karena aku ingin perlahan siapapun dia, mengerti bagaimana syairku mengungkap cinta. Kali ini aku menyukai awan yang gelap, yang tidak hitam itu. Aku menyukainya untuk mengabadikanmu dalam kelincahan jemari yang menari diatas keyboard laptop-ku yang memuja setiap kata untuk menggambarkan siapa hujan dan siapa kamu.
 
Hujan adalah kelembutan yang mengartikan ketulusan. Dinginnya lembut menyentuh kulitku, dan dengan waktu yang bersamaan aku menggenggam hangat yang didatangkannya. Hujan bukan tangisan dari langit yang gelap. Meski gelapnya adalah lelah, tapi hujan bukanlah duka untuk aku yang mencintaimu. Mencintaimu dengan ketulusan, seperti hujan yang tidak diminta tetapi datang. Seperti hujan yang meskipun menangis namun tetap bernyanyi. Bahkan untuk lagu yang tidak dia inginkan. Begitulah langit mencintai melalui butiran tetes air hujan. 

Mengapa langkahmu terhenti karena hujan? Sedangkan hujan tak pernah menghentikan pelangi untuk menghampirimu setelahnya. Mengapa kau dustakan seolah hujan kejam untuk langkahmu? Seolah senyummu terhambat oleh hujanmu? Dan untuk hatimu, apakah selalu hanya pelangi yang kau nantikan tanpa pernah menghargai hujan yang ternyata adalah pembawa pelangi itu? Biar saja kalian mencintai seperti pelangi. Yang hadir saat hujan sudah reda.

Tapi aku ingin seperti hujan. Hujan yang turun untuk ketulusannya pada bumi. Hujan yang tak hanya menghadirkan tetesan air murni dari langit. Tapi juga menghadirkan kamu untuk sebuah genggaman hangat, tidak hanya untuk tanganku, tapi juga hati yang menjaga cinta. Dan kepercayaan bahwa semua hujan menghantarkan pelangi. Aku ingin, meski tak sampai reda hujan yang aku turunkan, aku sudah melihat pelangi dalam perjalanan ini. Meski aku tak sampai diujung, aku sudah menjadi alasan mengapa pelangi harus ada untukmu.

Dan suatu saat ketika kita berdiri ditengah keheningan dibawah rintik hujan, ada tanda bahwa otak kita menyimpan keinginan sama yang sangat lembut yaitu untuk sekedar bahagia dalam waktu yang mungkin bagian kita, kemudian lantunan irama rintiknya yang berisi syair yang kita berdua ciptakan, terdengar lantang untuk sebuah kebanggaan, yang meski diam diantara banyak suara yang lepas namun tawa kita adalah kita berdua.

Rabu, 18 Februari 2015

Tentang 'aku' untuk rinduku

Tentang batu yang diam dan berat. Tentangnya yang berat dalam diam dibawah langit yang terkadang gelap hitam. Padahal gelap tak selamanya hitam, begitupun yang berat bukan hanya batu saja. Tapi batu hanya berat tanpa arti apapun. Kosong tak berkisah apapun. Begitupun setubuh jiwa yang berat namun kosong. Bahkan garis tangan yang bersautan tak mengartikan apapun untuk rongga yang dalam itu. rongga diantara tulang rusuk untuk tubuh yang kuat, tapi perlahan keropos untuk kisah gelap tanpa nama. Hanya aku dan kau dan kekosongan ini. Yang terkadang aku rindukan tapi bukan dirinya. Yang terkadang aku cari tapi bukan yang harusnya untukku. Apalah aku diantara berbukitan batu yang berat itu. Diantara tanjakan yang sering menjadi tempatmu mendaki, melatih kaki untuk melangkah lebih jauh. 

Mungkin juga tentang tanganku yang tak cukup untuk menghangatkan dingin dibadanmu, dingin dari air hujan yang dijatuhkan langit gelap dan berat oleh uap panas. Yang terjatuhkan untuk sebuah harapan penghapus panas dibumi ini. Aku butuh angin, untuk melayangkan angan bahwa aku tak sekedar batu diantara perbukitan batu yang lainnya. Yang berat hingga tak dapat digeser, yang kosong walau sebenarnya menjadi timpaan, meski hanya untuk sebuah beban ringan.

Untuk rindu yang kadang aku butuhkan, rindu yang membuat aku kosong dalam berat seperti batu namun padat tak berongga seperti harapanku yang padat menimpa rindu yang hanya sia-sia saja. Bahkan aku sudah memakan waktu membalikkan harapan bahwa aku yang akan habis dimakan waktu. Tapi seperti mengelak untuk mati karena rindu. Rindu untuk menjadikan kekosongan ini berarti indah. 

Apa aku hanya akan menjadi batu yang berat namun kosong itu (?) 

Yang begitu susah untuk digeser namun tak berguna untuk apapun. Yang terkadang terpakai jika untuk melemparkan penat saja. Oh, bukan, aku bukan seperti batu yang kosong namun padat dan berat itu. tapi aku seperti lukisan abstrak yang terkadang terlihat indah dimata pe-lihatnya. Yang salah satunya adalah ‘kau’. Dan bahkan tentang lukisan yang abstrak itu, ternyata aku sudah menjadi se-abstrak langit yang gelap meski bukan selamanya hitam. 

Apa aku ternyata hanya sekedar lukisan abstrak yang tak semua bisa melihat keindahannya (?)

Tentang abstraknya aku tak mampu ungkapkan, tentang kacaunya aku tak bisa muluskan. Aku segaris warna pada lukisan itu (mungkin). Terselip diantara warna lain yang berjuta keindahannya. Yang jika jeli, maka akan terlihat dimana letaknya. Pastinya garis itu hanya untuk pelengkap untuk rangkaian warna yang terbentuk menjadi lukisan abstrak, yang sekali lagi ‘keindahannya hanya untuk mata tertentu’

Namun apapun dia dalam lingkar hidup sepasang hati dan jantung itu, entah sebagai batu yang berat dan kosong ataupun lukisan abstrak yang keindahannya tertutupi itu, dia tetap rindu untuk kehadiran angin yang juga membawa kehangatan diantara ruang lima jari yang dia miliki. Rindu saat dingin tak hanya berselimutkan kain. Rindu untuk tidak menjadi batu dan lukisan abstrak diantara keindahan lain dalam 24 jam punyamu.

Selasa, 17 Februari 2015

Karena aku, tak selamanya 'kita'

Aku rindu untuk bersenandung denganmu. Dan aku akan ‘mati’ jika tak mendapat hangatmu. Dalam tiap detik yang akan berlalu aku selalu berharap untuk ditambahkan lembaran kosong untuk kita, agar masih banyak cerita yang harus kita ciptakan. Bukan untuk sekedar tertawa, tetapi juga untuk marah kemudian memaafkan, untuk membentak kemudian memeluk. Kuharap aku tak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah kita miliki bersama. Bahkan untuk memimpikan kalianpun aku tak pernah merasa rugi karena tidurku terganggu. 

Dan celah jemariku hanya untuk menggenggammu. Dan setiap huruf yang aku punya adalah tersusun untukmu. Apakah ada pengulangan masa muda yang pernah habis dimakan umur yang semakin menua. Bahkan gedung itu pun bisu ketika aku bertanya mengapa begitu cepat akan berlalu. Untuk sepasang pundak yang tegak menatap aku dihadirkan diantara kalian. Untuk sebuah kebohongan yang malaikatku sampaikan aku diantarkan untuk kalian. Kebohongan dari segala lelah mereka, kebohongan dari segala senyum mereka yang mengatakan ‘kami baik-baik saja’. Sengaja warna dibalik hidup kita berbeda, dari segala busana yang kita kenakan, inilah aku yang akan merindukan bahwa aku pernah tertawa bersama kalian, bahwa aku pernah ditertawai oleh kalian, dan bahwa aku pernah menertawakan yang lain bersama kalian. 

Untuk senja yang akan menghampiri
Aku menuliskannya bukan diatas pasir pantai yang jika ombak datang maka tulisan itu akan hilang. Aku menulisnya jauh didalam, menggoreskannya kuat dengan darah. Dan meneriakkannya dengan lantang, agar tak hanya yang melihat yang mengetahui. Tapi juga yang berlalu lalang juga mendengarnya. Kali ini hadirnya bukan seperti pelangi sehabis hujan, yang memang indah, tetapi hanya sebentar. Bahkan pula bukan seperti senja, yang setiap hari datang tapi hanya sesekali. Ikatan ini tak berperumpamaan, karena begitu dia terjalin tanpa sengaja.

Dan untuk bulan yang akan memberi cahaya
Aku tidak menceritakannya seperti dongeng sebelum tidur. Tapi akan berkisah untuk masa tuaku kelak, bahwa sekarang aku pernah bahagia tanpa sebab kecuali karena mereka. Begitulah harusnya, yang semoga tak hanya separuh saja ada kehangatan dibawah bulan yang datangnya berselimut langit gelap.

Bahkan matahari yang akan menyambut, bukan hanya aku dengan raut wajah yang kelak entah kapan, tapi pasti akan menua. Menua habis termakan waktu yang tidak kusesali habisnya, karena aku habiskan bersama kalian.

Sebelum sebongkah rindu yang akan membesar, aku harus sudah memiliki banyak cerita supaya aku tak pernah menyesal mengenalmu hanya menghasilkan satu kenagan saja.