Selasa, 01 Maret 2016

Kesempatan Mencintai (lagi)

Romansa kehidupan yang terbayang tidak seindah yang kurasakan, tepat setelah pertemuan pertama yang tidak kita rencanakan aku membawa pulang senyumanmu yang begitu manis dan lembut sidik jemarimu yang mengajakku berdansa ditengah gelombang musik yang kala itu kurasa manis sekali. Tidak lama aku butuh waktu untuk menjatuhkan hati pada satu titik yang ku fokuskan, yaitu matamu. Setelah sorotan mata yang mampu kutangkap aku membawanya pada mimpi indahku malam itu, penuh dengan bayangan yang membuatku sudah amat bahagia. Terimakasih untuk pertemuan pertama yang mengesankan.

Karena ada saja waktu yang menempatkan bahwa matahari lebih berkuasa –meskipun pada waktunya saja- mungkin matahari yang kelam adalah pada saat itu, matahari yang mengantarkan surat perpisahan dengan kata yang mudah dimengerti namun terasa sakit. Kau pergi meninggalkan kota, tempat aku jatuh cinta padamu. Tempat kaki ku beriring membentuk pola yang indah bersama kakimu saat kita berdansa manja. Baru saja aku menanam benihnya, malah kau pilih untuk meninggalkan aku tanpa tau akan kapan kembali untuk sekedar berdansa kembali. Namun pada masanya tak semudah itu, hidup hanya untuk menangisi kepergian yang sia-sia olehmu. Ku mulai lagi dengan musik dansa yang lain, meski hati tak tersangkut oleh karena satupun gelombangnya. Ada banyak gelombang musik yang manis untuk ku dengar, tapi getarnya tak sekuat saat aku berdansa denganmu. Itulah alasan aku masih berharap meski aku berdansa dengan yang lain.

Seperti yang Tuhan katakan ‘mintalah, maka akan diberikan, ketuklah dan pintu akan dibukakan’ begitulah aku percaya tiap apa yang aku minta didalam doa, berharap Dia kembali mempertemukan aku denganmu untuk gelombang musik yang manis seperti waktu itu. Dan benar. Kita bertemu dengan keadaan yang sudah berbeda. Kau dengan kebesaranmu yang dibutuhkan siapapun, sementara aku dengan keluargaku yang membutuhkan apapun. Hingga kurasa aku dan keluargaku membutuhkanmu juga. Dengan yakin aku menjalani keinginanku, memahami bagaimana aku harus bisa mewujudkannya dengan indah. Tetap saja, setelah aku jauh melangkah hingga nafasku terengah, akan ada batu hingga badai yang menghalangi. Apa yang bisa aku lakukan selain menahan mulutku berkata ‘iya’ ketika kau meminta dengan manis hatiku sementara aku sudah diterjang badai. Kenyataan yang pahit adalah aku melepaskan apa yang aku cintai.

Aku melewatkan badai yang menerjangku saat aku benar-benar menginginkanmu menjadi palung hatiku. dan ternyata benar, seperti yang mereka katakan ‘saat aku dan kau bersama yang terlihat bukan hanya keindahan, tetapi juga cinta dan kasih sayang sehingga kemanapun jauhnya kita pergi cinta akan membawa kita pulang’. Kau pulang setelah ku biarkan pergi, meski sudah lama aku menantikan kali kedua untuk pertanyaan yang sama yang dulu pernah ku buang sia-sia.

Dengan sorotan mata yang masih sama, yang sudah lama pula kurindukan hingga aku pernah berpikir bahwa musim yang kualami yang tak pernah berganti adalah rindu. Kau mengatakannya lagi.

'Dengan separuh penderitaan, dengan separuh harapan, dan separuh jiwa tersiksa oleh kerinduan aku tidak akan pernah berhenti hingga kau mengucapkannya. Bahwa aku ingin separuh penderitaanku kau bahagiakan, separuh harapanku kau wujudkan, dan separuh jiwa yang disiksa kerinduan terobati, hanya oleh kamu.'


Dan siapa yang menolaknya untuk kedua kali, mereka tidak dapat melihat cinta dari sorotan mata yang masih sama, dari yang tidak memperjuangkan apapun hingga melangkah bersama untuk sebuah perjuangan. Dari sisi ini kutemukan bahwa masih ada keindahan dari sia-sianya menunggu lama yang kupikirkan.