Senin, 30 September 2013

tidak lagi seperti biasa


pernah tidak kau mencariku setelah beberapa bulan lalu kita pernah berbincang menghabiskan malam, duduk berdua yang menikmati malam dibawah terangnya sinar bulan? pernah tidak kau terfikir bahwa saat itu dengan tak sengaja kau sudah menitipkan senyum padaku? aku yang pernah kau jemput dengan senyum dan kehangatan? kau yang selalu memberikan kejutan hati padaku?

apakah lupa dengan semua itu? apakah semua tak bisa kau imbangi? antara hati dan logikamu? aku pun sama sepertimu, berada ditempat yang sama, dengan kesibukan yang sama, dan dengan penglihatan yang sama. mungkin sudah saatnya kau berubah dan pergi dengan semua yang hanya sia-sia. mungkin juga salahku, yang tak begitu menghiraukan pandanganmu.

kau jauh dariku, meninggalkan tanpa pesan. begitu antusias untuk menjauh dengan semua pertanyaan yang belum sempat kau tanyakan itu, ya aku percaya masih banyak pertanyaan yang ingin kau tanyakan setelah pertemuan kita malam itu. tapi mungkin juga Tuhan hanya mengijinkanmu mengantarkanku saja tanpa menjemputku lagi.

aku tak menyesali semua pertemuan singkat itu, aku cukup bahagia karna pernah memimpikanmu, karna aku ingin belajar mewujudkan mimpi dan menjaga mimpi denganmu. tertawa bersamamu dan menceritakan apapun padamu. kau pernah menjadi pengobat semua yang kau ketahui dulu. seperti obat, pahit tapi menyembuhakan. seperti sakit yang pasti akan sembuh maka aku percaya bahwa kelak sakit yang aku titipkan juga akan bisa sembuh, seperti kau yang berhasil menyembuhkan sakit yang teramat sakit yang kau ketahui dulu.

"tapi sekarang aku tidak akan tidur untuk memimpikanmu, tidak akan bangun untuk senyum karnamu. aku takkan melanjutkannya lagi. karna aku tahu sakitnya bagaimana. aku tahu seberapa banyak air yang akan dikeluarkan oleh mataku. aku akan menghentikan langkah. aku ingin waktu cepat berlalu, seperti kau berlalu begitu cepat seprti yang kau inginkan"

hingga dia terjatuh dan terbuang, tak berpemilik dan terinjak. mungkin jika ia berbicara bukan itu yang dia mau, tapi memang itu takdir yang harus dijalaninya. ia masih sempat berdiri dibelakangmu dari kejauhan untuk sekedar melihatmu, untuk sekedar menghantarkan senyum walau kau tak melihatnya. walau kau tak menolehnya. karna cintanya yang tak bisa dilawan dengan segala ego yang ia punya.
itu dia yang dulu, sebelum kau tinggalkan, sebelum kau biarkan bermimpi dalam pertanyaan menghantui, jalannya tak lurus lagi, pikirannya tak senyaman dulu lagi. dia lumpuh, hatinya mati rasa, sakit yang sebelumnya belum pulih terobati, sekarang obat itu menimbulkan penyakit baru yang lebih parah.

 

september!!!

semoga semua sesal dan semua perasaan yang tak bisa ku-ungkapkan dengan jumlah kosakata yang kupunya berakhir malam ini, seperti malam ini, yang ternyata malam terakhir dibulan ini, September. bulan ini tak spesial, tapi cukup untuk menguras segala sesal karena perntayaan-pertanyaan yang aku punya tak kunjung terjawab oleh waktu yang terus berputar dan tak menungguku yang sedang menyelesaikan soal dari semua teori hidup yang sedang kupelajari. bahkan hingga malam ini, masih juga aku belum menemukan jawaban dari semua.

lihat langitnya! langit yang sama yang kita lihat malam ini. rasakan anginnya, juga angin yang sama-sama berhembus untuk kita, malam ini. malam penghujung bulan september yang seakan mengulang sendiri semua sakit dan senang karna sebuah nama. yang membahas begitu banyak tentangmu yang masih sama seperti lalu-lalu. lupa atau bahkan sengaja melupakan.

tapi apapun itu, malam ini aku ingin seperti mereka yang lain, yang menaruh harapan pada sesuatu yang baru. ikhlas berjalan dijalan yang tak mudah, yang dihiasi dengan segala makhluk yang bisa mengisahkan sakit dan senang. bukan dilihat dari kuatnya, tapi bagaimana hatinya untuk menghadapi segala macam susah yang tersedia dihamparan jalan yang dapat menghantarkan seseorang pada sebuah tujuan.

ini semangkuk kegalauan yang terletak jauh didasar hati. bagaimana tidak galau, jika semua yang datang seperti bus hanya singgah. sendiri itu lebih baik, tapi kelak berdua itu adalah untuk menjadi lebih baik. ternyata tak semua yang kita yakinkan baik akan selalu baik. bahkan dalam bahasan hati atau perasaan. ini bisa dikatakan sebagai evaluasi jiwa akhir bulan, karna semua telah kuungkapkan. ini lebih nyaman, bercertita pada sesuatu yang ada tapi tak berwujud, dia akan mampu menerima segala yang kita letihkan, tak sepertimu, yang mengajakku senang yang belum bisa mengobati sakit. kata mereka aku kuat, kuat dengan semua yang kurasakan, kuat dengan keadaan yang memisahkan dengan tak sengaja. aku tak bisa menamai bulan ini bulan apa, seakan semua runtuh di bulan ini. dari aku yang mulai percaya hingga aku yang mulai benci. benci kenapa Tuhan mempertemukan aku pada orang-orang yang membuatku membenci sebuah pertemuan. kelemahanku adalah kelemahan kelemahan yang kupunya, kelebihanku adalah kelebihan yang membuatku lemah.

mereka bilang nasibku terlalu beruntung, saat banyak hal yang mendukung keberuntunganku itu, tapi tiba-tiba aku menjadi orang yang tak berarti saat aku dikalahkan karna tiap mereka yang hanya duduk dan tak lama itu berdiri kemudian pergi. tetapi seperti kata seorang sahabatku "kita kuat" maka aku akan kuat untuk tetap ikhlas, seperti yang diajarkan oleh seorang sahabatku itu.

sekali lagi, aku lemah karena kelemahan-kelemahan yang kupunya, dan aku lebih karena kelebihan yang membuatku lemah. aku bahkan lupa cara untuk membagi kisah dengan yang lain..

selamat berlalu september sedihku, jangan tinggalkan sedikitpun luka, seperti sandiwara yang sering dia lakukan. yang seolah tak melihat aku, yang seolah lupa aku, yang seolah semua tak pernah ada kenangan apapun denganku. berlalulah septemberku, seperti aku akan me-lalu-kan semua hal yang pernah ada didalam pikiranku selama kau (septemberku) hadir. biarlah aku terbuai luka untuk malam ini saja, agar esok kujelang dengan senyum baru untuk menjelang ulang hariku tiba, biarkan semua kepiluan dibulanmu menjadi langkah dewasa menjelang hari tuaku nanti..
seperti sesak yang selalu menyiksa, maka aku akan menyiksa sesal yang selalu menggoda
untuk malam ini, sampaikan bahwa semua akan kuusahakan menghapusnya walau tanpa penghapus dan meski itu sulit untuk menghilangkan sakitnya...



nrt.vlntn.smnjntk
plmbng


Minggu, 29 September 2013

sakit kita berbeda, tapi cinta kita sama



Aku bahkan tidak tahu apa yang akurasakan malam ini, seperti tak miliki apapun untuk menghilangkan sepi setelah semua berubah. Mungkin kita harus merasakan hal yang membosankan ini. Sendiri. Entah itu hanya perasaanku saja atau memang begitulah nyatanya. Ini bukan gedung tanpa penghuni, setelah aku melewati pintu megah itu harusnya aku tidak lagi merasakan sepi seperti sebelum aku masuk kedalam gedung ini. Tapi itu perkiraan yang salah. Aku melihat banyak yang melintas didepanku, tapi entahlah, itu semua tak memebuatku merasa aku berada ditempat yang ramai. Tak jauh aku berjalan, aku melihat tempat duduk disudut ruang pertama yang aku masuki. Aku duduk, kemudian mengeluarkan gadgetku. Tidak ada hal lain yang aku lakukan selain mendengarkan musik.

 “...Because a girl like you is impossible to find It's impossible..”

“fall for you by secondhand serenade”

Aku tersentak. Aku langsung melihat kesampingku. “itu lagu kesukaanku juga, liriknya yang aku suka” sambungnya lagi. Lelaki putih bersih itu membuatku kaget, entah menagapa dia bisa mendengar musik yang aku putar sementara aku memakai headphone. Mungkin volume musik yang kuputar terlalu besar, hingga dia bisa mendengar dan aku juga tak sadar bahwa dia sudah duduk disampingku. Aku masih diam. “aku Iyan, aku sering melihatmu datang kesini, dan aku semakin sering datang ketempat ini untuk sengaja melihatmu.” Aku tak pernah melihatnya, aku tak tahu dia siapa. “Ooh..” jawabku singkat karna aku tak perduli.

“aku tahu sakit yang kamu rasain sebulan yang lalu. Aku baca blogmu, kamu riri kan?”

“kamu?? Siapa? Tahu apa tentang aku?” aku semakin cemas, aku berusaha mengingat tapi memang rasanya aku tak pernah bertemu orang itu, aku tak tahu siapa dia, dan itu adalah kali pertama aku melihatnya. “jangan heran, aku teman orang yang selalu kau sebut Mr. Jelo. Tapi memang kita tidak pernah bertemu sebelumnya” spontan aku melihat ke arahnya. Mr. Jelo?? Orang itu?? Seakan semua memori tentangnya terulang kembali, semuajelas kronologinya. Dan pria itu (Iyan) berhail membuatku mengingatnya lagi. “aku sudah berusaha melupakannya” harusnya dia tahu seberapa sakit saat itu, dan harusnya dia tak usah menceritakannya lagi padaku. “baiklah, aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu pada masalalumu. Boleh aku menjadi temanmu?” aku sebenarnya tak butuh teman untuk memebuat hatiku pulih, tapii ya sudahlah. “apa istimewanya aku hingga kamu mau aku menjadi temanmu?”. “Aku tak melihat keistimewaanmu, karna itu lah aku ingin menjadi temanmu”. 

“Baiklah, kita berteman, alasanmu tak bisa ku tolak, karna semua orang berhak untuk saling mengenal”. 

***

Setelah pertemuan itu kami sering pergi bersama, tertawa selantang yang kami bisa, berjalan sejauh yang kaki kami sanggup. Semua seperti teman atau bahkan sahabat. Setahun setelah pertemanan itu, Iyan menawarkanku untuk menulis sebuah novel. Kebetulan dia pemilik pertecakan ternama dikota ini, dan kebetulan tim kreatif kantornya menerima tulisanku. “Ri, kamu harus menulis dari sekarang, aku percaya tulisanmu nggak kalah bagus dengan tulisan-tulisan lain”. Itu kalimat yang diucapkannya. Dan aku menerima tawaran itu, karna hatiku masih menunggu Mr. Jelo, aku berfikir dengan aku menuliskan semua yang aku alami itu akan membuat Mr. Jelo yang tiba-tiba menghilang itu dapat kembali lagi. Aku mulai menuliskan semuanya, aku menulis namanya, cerita tentangnya. Dan Iyan pun menerima tulisan itu dengan baik, dia tidak merasa risih dengan sikapku yang terus-terusan masih menuliskan tentang Jelo. Aku hanya diberi waktu tiga bulan untuk menyelesaikan novel itu. Dan selama itu waktuku bertemu Iyan pun berkurang, dan sebagai teman yang baik Iyan mengerti karna ini juga tanggungjawabku pada kantornya. Aku menceritakan bagaimana pertemuan singkat yang selalu membekas itu, bagaimana pesan-pesan singkat kami. Dan akau memasukkan puisi yang kutulis untuk Jelo saat itu, seolah aku lupa bahwa aku pernah sakit karna pria itu, aku menulis ceritanya dengan bersemangat sekali.

Sesuatu yang kurasa, yang menjadi pertanda yang tak mampu aku bohongi dari mataku
Akan kah terwujud semua mimpi bahagiaku tentangmu
Mencoba memulai senyum karna bayangan bahagia bersamamu kelak akan nyata
Untukmu, dan mungkin hanay bersamamu, merajut cinta dibalik kelopak mataku, seolah kau mengajakku berdansa dikerajaan cinta kita kelak
Entah mengapa, tiap detik jantungku hanya berdetak untuk namamu
Lamunanku pun enggan memisah dari bayang senyum indah diwajahmu, sore itu.

***

Belum genap tiga bulan novel itu sudah selesai kukerjakan. Setelah aku melaporkan pada pihak kantor, Iyan berencana ingin mengadakan launching buku pertamaku itu. Seminggu kemudian dikantor sudah banyak dikerumuni wartawan dari berbagai stasiun televisi dan koran serta majalah. Semua orang tahu bahwa kantor Iyan memang kantor besar dan proyek yang dikerjakan disana pasti top, itulah yang membuatku awalnya minder untuk menulis dibawah naungan kantor Iyan.

 “Aku menamainya ‘Jendela Derita’ karena aku menderita tapi tak seperti kelihatan menderita. Aku sakit tapi tak terlihat dimana sakitnya. Seperti jendela, kadang tertutup kadang juga terbuka. Pada saat terbuka seolah dia sedang bahagia, tapi pada saat tertutup kita tidak bisa melihat apa yang sedang dia rasakan. Jendela tak selamanya dibuka, dia juga harus ditutup, seperti hati ini, tak hanya harus merasakan bahagia, tetapi juga harus tahu bagaimana rasanya sakit.” Begitu penjelasanku saat ditanya oleh wartawan mengapa aku memberi judul ‘jendela derita’. Setelah acara launching tersebut, aku dan Iyan pergi ketempat yang sering kami datangi sebelum tiga bulan penulisan novel itu. Disana dia bertanya, apakah tujuanku menulis sudah tercapai. Tentu dia tahu jawabannya. Tidak.

“Ri, apa kamu masih terus inget tenteang Jelo?”

Sentak aku menoleh kearahnya “kenapa kamu menanyakan itu lagi? Moment ini terakhir aku akan mengingatnya, dan setelah ini aku ingin melupakannya, kau tahu kan sakit yang aku rasakan, dia menghilang saat semuanya begitu indah, meninggalkan aku tanpa alasan.”

“itu bukan keinginannya Ri, sakit yang kamu rasakan ngga sesakit yang dia rasain waktu itu. Kalo dia tahu kamu sakit karna dia, mungkin dia akan memilih untuk tidak mengenalmu.”

“maksudmu apa Yan?” aku semakin bingung setelah mendengar ucapan Iyan, pertanyaanku mengapa dia pergi tanpa kabar saja belum terjawab hingga kini, dan sekarang sudah muncul lagi pertanyaan baru.

“Dia manusia biasa Ri, sama kayak kita, diciptakan oleh Tuhan, bukan kehendak kita yang jadi dalam tiap rencana hidup kita, tapi kehendak Tuhan, dia ngga bisa menghindar dari yang namanya takdir. Setahun lalu, kami dikagetkan dengan kabar bahwa Jelo mengidap penyakit, tapi kita semua ngga dikasih tahu, bahkan orangtuanya. Dia memilih diam dengan keadaan yang cuma dia aja yang tahu gimana sakitnya, gimana susahnya dia nahan sakit itu. Kita tau kalo dia sakit setelah semuanya makin parah. Tapi saat itu dia masih sempet bilang ‘aku ngga apa-apa, tolong jangan nangis didepan aku, aku ngga mau dianter dengan tangisan’ itu kalimat semangat yang dia kasih ke kita sementara dia udah lemah. Dia dirawat 3 bulan dirumah sakit, sehari menjelang ulang tahun pernikahan orangtuanya dia berusaha senyum, dia nyuruh aku beli cake buat papa mamanya, dirumah sakit kita ngerayain anniversary papa dan mamanya semuanya ngumpul, dia bilang ‘Ma, terimakasih udah menlahirkan aku kedunia ini, terimakasih untuk cinta yang mama dan papa ajarkan yang ngebuat aku tahu gimana indahnya jatuh cinta. Terimakasih buat semangat yang mama dan papa kasih sampe aku bisa kuat ngadepin penyakit ini. Kalian jangan sedih, jangan nangis, aku aja yang sesakit ini  masih bisa senyum, jangan sesali diri kalian jika aku meninggal karna penyakit ini, aku sayang kalian semua’ dia juga menitipkan surat buatmu”

Riri, setelah kamu baca surat kecil ini mungkin semua sudah kamu lupakan, aku dan semua yang pernah kita jalani dulu. Jangan benci aku yang pecundang ini Ri, cinta aku ngga bisa ngalahin penyakit ini, aku ngga mau kamu semakin sakit karna penyakit yang aku punya ini. Maafin aku Ri, maafin aku, aku ngga bisa memulai apa yang kamu mau, bahkan aku menghentikan semuanya sebelum sempat kita jalani, aku percaya kamu bisa bahagia tanpa aku, aku ngga berarti apa-apa buat kamu dengan penyakit yang aku punya, itu sebabnya aku menghilang. Terimakasih untuk waktu yang pernah kamu luangkan buat aku Ri. Aku sakit, tapi aku bersyukur, karna diberi kesempatan mengena kamu. Aku sayang kamu Riri. Makasi untuk panggilan Jelo dari kamu, terimakasih pesan lagu darimu, sekarang aku benar-benar terjatuh untukmu-' fall for you'.

Sammy


“kenapa aku harus tahu sekarang, kenapa aku ngga dikasih tahu? Kamu harusnya tahu Yan, ini lebih sakit, aku udah jahat, aku udah benci sama dia, aku.....” perasaanku campur aduk saat itu, aku mau marah, tapi aku ngga bisa. “Itu permintaan Jelo, Ri. Maafin aku”. Ini ‘Jendela Derita’ yang sesungguhnya, saat itu air mataku sudah bagaikan air hujan, deras, tak terbatas dan terus mengalir, dia berhasil, membuatku jatuh cinta terlalu dalam, dan sakit terlalu dalam karna tak bisa merasakan sakit yang dia punya waktu itu, aku seolah bagai wanita yang paling jahat. Hari itu juga aku pergi kerumah sederhana yang Jelo punya, aku bukan wanita kuat, aku tidak kuat seperti dia.

“Jelo, aku menyapamu disini dengan sisa air mata yang aku punya, dengan sedikit senyum yang kau titipkan, aku tak sekuat kamu Sammy, bahkan saat kamu ninggalin aku tanpa pesan waktu itu. Aku mengikhlaskan perasaanku kau bawa, walau tanpa balasan, seperti kamu mengikhlaskan nafasmu pada alam ini. Terimakasih Jelo, untuk waktu yang singkat, dan kenangan yang kamu titipkan. Aku sayang kamu. Aku mengisahkanmu dalam jendela deritaku. Selamat istirahat Sammy.”


noratio.valentina.simanjuntak
palembang


Selasa, 24 September 2013

aku sakit tanpa alasan darimu (cerpen)



Setelah itu semua, kau pergi tanpa pesan, dan aku menunggumu ditempat biasa kita bertemu. Aku ingin menyampaikan pesan hati yang tak sempat kuucapkan setelah kepergianmu. Penantianku ditempat itu tak sia-sia, karna kau datang teriring pesan undangan yang kukirimkan padamu. Aku hanya ingin menyampaikan “Aku mengikhlaskan jika semua harus berakhir. Aku benar-benar ikhlas. Benar. Ikhlas jika semua hanya bagai mimpi semalam. Aku ikhlas dengan ketidakberdayaanku menanyakan pertanyaan yang terus menghasut pikiranku untuk kutanyakannya padamu. Aku mengikhlaskan perasaanku dikalahkan oleh waktu. Dan aku pun ikhlas dengan segala emosiku, aku benar mengikhlaskannya pergi”. Tanpa kusadari perkataanku itu diiringi oleh isak tangis yang teramat pilu, kemudian kau berlalu dengan langkahmu dari tempat kita bertemu, tanpa pesan dan hanya diam. Dan aku menninggalkan jejakmu yang tanpa kau sadari telah membasahi hatiku tanpa air, aku begitu bersedih, tapi mataku tak bisa mengeluarkan air mata untuk mengungkapkan perasaanku saat itu. Hanya saja hatiku yang menangis. Dan itu lebih menyiksa jika dibanding dengan mataku yang menangis. Aku sakit dengan luka yang aku sendiri membuatnya. Aku merasa bodoh, mengapa aku menyuruhmu datang ketempat itu, mengajakmu bertemu dan menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan seolah aku ingin kau kembali. Yang nyatanya kau bisu dengan semua sikap yang tak kau sadari telah merobek langit masa depanku. Mengoyak impian bahagiaku. Dalam perjalanan pulang yang tak kusadari ternyata aku diantar oleh air mata yang terus mengalir hingga aku sampai di rumahku. Disudut kamar yang tak ada cahaya, tertunduk dan diam, menggumam dalam hati seolah aku ingin menguatkan hati yang sudah tak berbentuk hati lagi “aku tak apa jika harus ikhlas dengan keadaan ini, biarlah semua akan kulupakan. Tapi jangan paksa aku, biar semuanya alami, seperti aku mencintaimu karna waktu, tetapi aku juga harus melupakanmu karna waktu juga”.

***

Keesokan harinya. Aku bangun dengan harapan bahwa apa yang kualami itu hanya mimpi buruk sepanjang nafas yang diberikan Sang Pencipta. Tetapi ternyata tidak, aku disadarkan dengan tak adanya satupun pesan yang datang pagi itu, tak seperti biasa, sebiasa aku mendapat ucapan selamat pagi darimu. Aku masih berdiam dibalik selimutku setelah aku melihat ponselku yang hanya sia-sia. Tak lama telpon genggamku berbunyi, tapi aku tau itu pasti bukan darimu, dan aku tak miliki keinginan untuk melihatnya dan aku meniatkan diri untuk tertidur lagi. Seorang temanku menelfon ke telfon rumah, dan setelah itu tiba-tiba mereka semua sudah ada didalam kamarku, menggangguku untuk mengajak menghabiskan hari yang kebetulan weekend. “aku sudah jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk datang menemuimu kerumah, ayo bangun!! Jangan menjadi orang yang tak beruntung memiliki weekend dalam setiap minggumu tapi tak kamu gunakan dengan baik”. Mereka begitu semangat mengajakku menghabiskan waktu untuk bermain sementara aku tak miliki semangat untuk melakukan segala hal yang aku tahu. Aku masih diam dengan keadaan itu, saat mereka diam dengan harapan jawabku. “kami punya permainan baru, jika kamu menang kami akan turuti permintaanmu, ayoo bangunlah!!!”. Begitu ajakan singkat mereka yang seolah menantangku dan itu membuatku mulai kesal. Mendengar itu aku berkata “aku pasti kalah, aku mundur saja, aku sudah lelah dipermainkan. Aku takut jika kalian mengajakku bermain kalian juga akan meninggalkanku sebelum permainan itu selesai.” Mereka bingung dan kemudian tertawa, mungkin bagi mereka itu hal yang aneh, tiba-tiba aku menjadi sosok yang diam dan berkata demikian. Tetapi nyatanya memang itulah yang aku rasakan. Dan mereka tidak tahu, ini permainan pertama yang membuat aku menjadi tak berwarna dan tiba-tiba gelap. Karena aku dan dia (lelaki itu) belum sempat melihat siapa yang menang dari perlombaan menjaga cinta yang ditipkan waktu, tetapi dia (lelaki itu) telah meninggalkanku. “baiklah!! Kami tau ini masa-masa yang sulit bagimu, tapi ayo lah lakukan aktifitasmu seperti biasa, ini sudah tengah hari kamu bahkan belum makan, kasian cacing yang ada didalam perutmu, nanti kamu sakit.”

“aku sudah terbiasa sakit dan tersakiti, aku sudah kebal, hatiku sudah kebal jika tersakiti, untuk apa aku mengasihani jika aku tak pernah dikasihani akan perasaan yang kujaga, yang kufokuskan hanya untuk satu objek yang sekarang menghilang, yang tanpa pesan, yang jikapun kiminta menjelaskan dia tak ingin menjelaskannya.” Aku tak sadar bahwa semua itu membuat mata mereka berkaca-kaca, aku tak ingin mereka juga merasa sakit dengan sakit yang aku punya, dengan sakit yang aku sendiri tak tau kemana harus kubawa untuk mengobatinya. Dan mereka diam dalam getaran suara yang tertahan seolah tak tahu harus berkata apa. “kami hanya tak ingin menambah sakitmu lebih lagi, cukup hatimu yang sakit, yang tak bisa lagi kami lihat warnanya sekarang, tapi kami tau, semua hanya bergantung pada waktu. Waktu yang akan mengubah hatimu, waktu yang membuat semua harus kamu rasakan. Cukup hatimu yang sakit, kami mohon jangan sakiti juga fisikmu yang sempurna diciptakan Tuhan” salah seorang dari mereka tak sadar menjatuhkan airmata.

Merka tidak tahu. Mereka melihat fisik dan kondisiku saja sudah menangis, apa lagi jika mereka juga merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan. Itu semua menyiksa, begitu tersiksanya aku. Mataku memang tak menangisinya dengan gila, tapi hatiku merasakannya tersiksa.

“jika kamu terus begini, maka dengan perlahan kamu menyakiti dirimu sendiri dan orang disekitarmu, kamu bukan wanita bodoh kan? Rela menjadi tak bersemangat karena orang yang tak pernah memberimu semangat?”

“tapi biarlah sakit secara perlahan dari pada tersakiti dengan spontan, sakitnya akan lebih sakit dari yang kalian bayangkan, kalian hanya butuh waktu untuk melihat aku kembai seperti yang kalian kenal dulu, sementara aku? Aku tak tau kapan aku bisa memperbaiki hati yang tak berbentuk hati ini lagi”

“itu akan sama-sama sakit, sama-sama mengeluarkan air mata”

“tapi hidup memang harus mengeluarkan air mata, agar kita tau bagaimana menjaga kebahagiaan yang akan kita punya kelak”

***

Itulah sakit nyata yang aku rasakan, bagaimana pun bentuknya, sosokitu telah pergi tanpa alasan ‘mengapa’, dan membuat aku bagai daging tak bernyawa. Itu jelas kronologinya, jelas pula sakit yang aku rasa. Aku bukan whiteboard, yang jika ditulis dengan spidol akan bisa dengan mudah dihapus hingga tanpa bekas. Tidak. Aku tidak seperti itu. Tolong mengerti, bahwa aku bukan papan tulis, bahwa aku bukan nabi yang dengan cepat dapat mengikhlaskan sakit yang kau tinggalkan, aku hanya akan berusaha mengikhlaskan keadaan kita dengan waktu yang aku punya, dengan usaha yang kujaga. Tapi tidak dengan keadaan yang membuatku tak sengaja telah menyakiti semua yang ada disekitarku, yang membuatku tak sengaja menyakiti cacing yang ada dalam ususku secara perlahan, karna kini aku tahu, disakiti dengan cara apapun itu, pasti akan menyakitkan.

Bicaralah, katakan apa salahnya aku yang mencintaimu? Jangan biarkan aku menyerah dengan cinta yang dikaruniakan Sang Pencipta padaku...



Plbg, 24 sptmbr 2013
Nrt.vlntn.smnjntk

Kamis, 19 September 2013

Tapi aku tak berhak marah.


Ini soundtrack yang berbeda, semua musik yang bergantian menghibur serasa menyindir suasana hati yang kian rapuh dengan keadaan yang semakin hambar ini yang dengan tak sengaja ternyata telah menyiksa batin. Pagi ini yang ada hanya bunyi mesin dari bus yang terus berjalan membawa kami, dan musik yang sengaja di-play tak ada suara dari jiwa-jiwa yang bersemangat melewati hari ini. Semuanya diam, tapi tidak bisu tidak juga tak miliki suara tapi entah mengapa semuanya hening. Ya tak apa. Biar lah hening seperti ini, diam tanpa kata yang bisa diucapkan ditengah suasana hati yang tak biasa ini tak biasa untuk matahari yang cerah pagi tadi. 



Seperti keadaan kita (aku dan kamu) yang tiba-tiba diam tapi tidak bisu. Harusnya kau tahu, ini jalan yang sama, pernah kita lewati berdua. Bahkan lebih jauh dari tujuanku hari ini. Ini juga jalan yang sama sama kita lalui untuk hari ini. Aku tahu, kau pasti melalui jalan ini, tapi aku yakin, aku tidak dipertemukan denganmu dijalan yang sama pagi ini. Semuanya telah berakhir, seperti aku akan mengakhiri perjalananku pagi ini, karena jalan ini singkat, begitu singkat untuk waktu yang panjang yang kita miliki. Aku hanya menceritakan aku saja, harusnya aku bisa mengalahkan hatiku yang terlanjur, yang semuanya serba terlanjur, terlanjur tersakiti. Tapi kamu tak tau itu (kurasa) karena apapun tentangku kau hanya membacanya, tanpa memberikan pertanyaan ‘mengapa’.

Keadaan kita seperti supir bus yang tiba tiba menurunkan penumpang sebelum sampai pada tujuan, tanpa alasan yang jelas, ditengah setengah perjalanannya. Dan kamu tahu? Aku adalah ibarat penumpang itu, yang diturunkan dipertengahan jalan sebelum tujuanku, tapi aku tak bisa marah walau aku diturunkan tanpa alasan yang jelas, dan ditinggalkan sendiri, tanpa diberi tahu mana arah jalan pulangnya. Dan supir itu adalah kamu, kamu yang tanpa alasan menurunkan penumpang yang belum sampai pada tujuannya tanpa tanggungjawab bagaimana penumpang itu akan pulang. 



Jika aku bisa berkehendak, aku tak ingin melewati jalan ini lagi, karena semua yang pernah tersimpan menjadi memori itu secara spontan terulang lagi sementara tak hanya yang indah yang terangkai dalam film dokumenter kenangan itu, ada sakitnya juga, dan sakitnya itu akan semakin membekas jika semua film dokumenter itu ter-putar kembali.



"Tapi aku tak berhak marah". Aku tak berhak menangis, aku memang tak berhak atas apapun darimu sekalipun kau menurunkan aku sebelum aku sampai pada tujuanku. Karena mungkin bagimu aku hanya penumpang yang kau temukan dipinggiran jalan saat perjalananmu menuju arah yang kau inginkan...



plbg. 19sptmbr2013
nrt.vlntn.smnjntk