Setelah itu semua, kau
pergi tanpa pesan, dan aku menunggumu ditempat biasa kita bertemu. Aku ingin
menyampaikan pesan hati yang tak sempat kuucapkan setelah kepergianmu. Penantianku
ditempat itu tak sia-sia, karna kau datang teriring pesan undangan yang
kukirimkan padamu. Aku hanya ingin menyampaikan “Aku mengikhlaskan jika semua
harus berakhir. Aku benar-benar ikhlas. Benar. Ikhlas jika semua hanya bagai
mimpi semalam. Aku ikhlas dengan ketidakberdayaanku menanyakan pertanyaan yang
terus menghasut pikiranku untuk kutanyakannya padamu. Aku mengikhlaskan perasaanku
dikalahkan oleh waktu. Dan aku pun ikhlas dengan segala emosiku, aku benar
mengikhlaskannya pergi”. Tanpa kusadari perkataanku itu diiringi oleh isak
tangis yang teramat pilu, kemudian kau berlalu dengan langkahmu dari tempat
kita bertemu, tanpa pesan dan hanya diam. Dan aku menninggalkan jejakmu yang
tanpa kau sadari telah membasahi hatiku tanpa air, aku begitu bersedih, tapi
mataku tak bisa mengeluarkan air mata untuk mengungkapkan perasaanku saat itu. Hanya
saja hatiku yang menangis. Dan itu lebih menyiksa jika dibanding dengan mataku
yang menangis. Aku sakit dengan luka yang aku sendiri membuatnya. Aku merasa
bodoh, mengapa aku menyuruhmu datang ketempat itu, mengajakmu bertemu dan
menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan seolah aku ingin kau kembali. Yang nyatanya
kau bisu dengan semua sikap yang tak kau sadari telah merobek langit masa
depanku. Mengoyak impian bahagiaku. Dalam perjalanan pulang yang tak kusadari
ternyata aku diantar oleh air mata yang terus mengalir hingga aku sampai di
rumahku. Disudut kamar yang tak ada cahaya, tertunduk dan diam, menggumam dalam
hati seolah aku ingin menguatkan hati yang sudah tak berbentuk hati lagi “aku
tak apa jika harus ikhlas dengan keadaan ini, biarlah semua akan kulupakan. Tapi
jangan paksa aku, biar semuanya alami, seperti aku mencintaimu karna waktu,
tetapi aku juga harus melupakanmu karna waktu juga”.
***
Keesokan harinya. Aku bangun
dengan harapan bahwa apa yang kualami itu hanya mimpi buruk sepanjang nafas
yang diberikan Sang Pencipta. Tetapi ternyata tidak, aku disadarkan dengan tak
adanya satupun pesan yang datang pagi itu, tak seperti biasa, sebiasa aku
mendapat ucapan selamat pagi darimu. Aku masih berdiam dibalik selimutku
setelah aku melihat ponselku yang hanya sia-sia. Tak lama telpon genggamku
berbunyi, tapi aku tau itu pasti bukan darimu, dan aku tak miliki keinginan
untuk melihatnya dan aku meniatkan diri untuk tertidur lagi. Seorang temanku
menelfon ke telfon rumah, dan setelah itu tiba-tiba mereka semua sudah ada
didalam kamarku, menggangguku untuk mengajak menghabiskan hari yang kebetulan
weekend. “aku sudah jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk datang menemuimu
kerumah, ayo bangun!! Jangan menjadi orang yang tak beruntung memiliki weekend
dalam setiap minggumu tapi tak kamu gunakan dengan baik”. Mereka begitu
semangat mengajakku menghabiskan waktu untuk bermain sementara aku tak miliki
semangat untuk melakukan segala hal yang aku tahu. Aku masih diam dengan
keadaan itu, saat mereka diam dengan harapan jawabku. “kami punya permainan
baru, jika kamu menang kami akan turuti permintaanmu, ayoo bangunlah!!!”. Begitu
ajakan singkat mereka yang seolah menantangku dan itu membuatku mulai kesal. Mendengar
itu aku berkata “aku pasti kalah, aku mundur saja, aku sudah lelah
dipermainkan. Aku takut jika kalian mengajakku bermain kalian juga akan
meninggalkanku sebelum permainan itu selesai.” Mereka bingung dan kemudian
tertawa, mungkin bagi mereka itu hal yang aneh, tiba-tiba aku menjadi sosok
yang diam dan berkata demikian. Tetapi nyatanya memang itulah yang aku rasakan.
Dan mereka tidak tahu, ini permainan pertama yang membuat aku menjadi tak
berwarna dan tiba-tiba gelap. Karena aku dan dia (lelaki itu) belum sempat
melihat siapa yang menang dari perlombaan menjaga cinta yang ditipkan waktu,
tetapi dia (lelaki itu) telah meninggalkanku. “baiklah!! Kami tau ini masa-masa
yang sulit bagimu, tapi ayo lah lakukan aktifitasmu seperti biasa, ini sudah
tengah hari kamu bahkan belum makan, kasian cacing yang ada didalam perutmu,
nanti kamu sakit.”
“aku sudah terbiasa
sakit dan tersakiti, aku sudah kebal, hatiku sudah kebal jika tersakiti, untuk
apa aku mengasihani jika aku tak pernah dikasihani akan perasaan yang kujaga,
yang kufokuskan hanya untuk satu objek yang sekarang menghilang, yang tanpa
pesan, yang jikapun kiminta menjelaskan dia tak ingin menjelaskannya.” Aku tak
sadar bahwa semua itu membuat mata mereka berkaca-kaca, aku tak ingin mereka
juga merasa sakit dengan sakit yang aku punya, dengan sakit yang aku sendiri
tak tau kemana harus kubawa untuk mengobatinya. Dan mereka diam dalam getaran
suara yang tertahan seolah tak tahu harus berkata apa. “kami hanya tak ingin
menambah sakitmu lebih lagi, cukup hatimu yang sakit, yang tak bisa lagi kami
lihat warnanya sekarang, tapi kami tau, semua hanya bergantung pada waktu. Waktu
yang akan mengubah hatimu, waktu yang membuat semua harus kamu rasakan. Cukup hatimu
yang sakit, kami mohon jangan sakiti juga fisikmu yang sempurna diciptakan
Tuhan” salah seorang dari mereka tak sadar menjatuhkan airmata.
Merka tidak tahu. Mereka
melihat fisik dan kondisiku saja sudah menangis, apa lagi jika mereka juga
merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan. Itu semua menyiksa, begitu
tersiksanya aku. Mataku memang tak menangisinya dengan gila, tapi hatiku
merasakannya tersiksa.
“jika kamu terus
begini, maka dengan perlahan kamu menyakiti dirimu sendiri dan orang
disekitarmu, kamu bukan wanita bodoh kan? Rela menjadi tak bersemangat karena
orang yang tak pernah memberimu semangat?”
“tapi biarlah sakit
secara perlahan dari pada tersakiti dengan spontan, sakitnya akan lebih sakit
dari yang kalian bayangkan, kalian hanya butuh waktu untuk melihat aku kembai
seperti yang kalian kenal dulu, sementara aku? Aku tak tau kapan aku bisa
memperbaiki hati yang tak berbentuk hati ini lagi”
“itu akan sama-sama
sakit, sama-sama mengeluarkan air mata”
“tapi hidup memang
harus mengeluarkan air mata, agar kita tau bagaimana menjaga kebahagiaan yang
akan kita punya kelak”
***
Itulah sakit nyata yang
aku rasakan, bagaimana pun bentuknya, sosokitu telah pergi tanpa alasan ‘mengapa’,
dan membuat aku bagai daging tak bernyawa. Itu jelas kronologinya, jelas pula
sakit yang aku rasa. Aku bukan whiteboard, yang jika ditulis dengan spidol akan
bisa dengan mudah dihapus hingga tanpa bekas. Tidak. Aku tidak seperti itu. Tolong
mengerti, bahwa aku bukan papan tulis, bahwa aku bukan nabi yang dengan cepat
dapat mengikhlaskan sakit yang kau tinggalkan, aku hanya akan berusaha
mengikhlaskan keadaan kita dengan waktu yang aku punya, dengan usaha yang
kujaga. Tapi tidak dengan keadaan yang membuatku tak sengaja telah menyakiti
semua yang ada disekitarku, yang membuatku tak sengaja menyakiti cacing yang
ada dalam ususku secara perlahan, karna kini aku tahu, disakiti dengan cara
apapun itu, pasti akan menyakitkan.
Bicaralah, katakan apa
salahnya aku yang mencintaimu? Jangan biarkan aku menyerah dengan cinta yang
dikaruniakan Sang Pencipta padaku...
Plbg, 24 sptmbr 2013
Nrt.vlntn.smnjntk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar