Selasa, 24 September 2013

aku sakit tanpa alasan darimu (cerpen)



Setelah itu semua, kau pergi tanpa pesan, dan aku menunggumu ditempat biasa kita bertemu. Aku ingin menyampaikan pesan hati yang tak sempat kuucapkan setelah kepergianmu. Penantianku ditempat itu tak sia-sia, karna kau datang teriring pesan undangan yang kukirimkan padamu. Aku hanya ingin menyampaikan “Aku mengikhlaskan jika semua harus berakhir. Aku benar-benar ikhlas. Benar. Ikhlas jika semua hanya bagai mimpi semalam. Aku ikhlas dengan ketidakberdayaanku menanyakan pertanyaan yang terus menghasut pikiranku untuk kutanyakannya padamu. Aku mengikhlaskan perasaanku dikalahkan oleh waktu. Dan aku pun ikhlas dengan segala emosiku, aku benar mengikhlaskannya pergi”. Tanpa kusadari perkataanku itu diiringi oleh isak tangis yang teramat pilu, kemudian kau berlalu dengan langkahmu dari tempat kita bertemu, tanpa pesan dan hanya diam. Dan aku menninggalkan jejakmu yang tanpa kau sadari telah membasahi hatiku tanpa air, aku begitu bersedih, tapi mataku tak bisa mengeluarkan air mata untuk mengungkapkan perasaanku saat itu. Hanya saja hatiku yang menangis. Dan itu lebih menyiksa jika dibanding dengan mataku yang menangis. Aku sakit dengan luka yang aku sendiri membuatnya. Aku merasa bodoh, mengapa aku menyuruhmu datang ketempat itu, mengajakmu bertemu dan menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan seolah aku ingin kau kembali. Yang nyatanya kau bisu dengan semua sikap yang tak kau sadari telah merobek langit masa depanku. Mengoyak impian bahagiaku. Dalam perjalanan pulang yang tak kusadari ternyata aku diantar oleh air mata yang terus mengalir hingga aku sampai di rumahku. Disudut kamar yang tak ada cahaya, tertunduk dan diam, menggumam dalam hati seolah aku ingin menguatkan hati yang sudah tak berbentuk hati lagi “aku tak apa jika harus ikhlas dengan keadaan ini, biarlah semua akan kulupakan. Tapi jangan paksa aku, biar semuanya alami, seperti aku mencintaimu karna waktu, tetapi aku juga harus melupakanmu karna waktu juga”.

***

Keesokan harinya. Aku bangun dengan harapan bahwa apa yang kualami itu hanya mimpi buruk sepanjang nafas yang diberikan Sang Pencipta. Tetapi ternyata tidak, aku disadarkan dengan tak adanya satupun pesan yang datang pagi itu, tak seperti biasa, sebiasa aku mendapat ucapan selamat pagi darimu. Aku masih berdiam dibalik selimutku setelah aku melihat ponselku yang hanya sia-sia. Tak lama telpon genggamku berbunyi, tapi aku tau itu pasti bukan darimu, dan aku tak miliki keinginan untuk melihatnya dan aku meniatkan diri untuk tertidur lagi. Seorang temanku menelfon ke telfon rumah, dan setelah itu tiba-tiba mereka semua sudah ada didalam kamarku, menggangguku untuk mengajak menghabiskan hari yang kebetulan weekend. “aku sudah jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk datang menemuimu kerumah, ayo bangun!! Jangan menjadi orang yang tak beruntung memiliki weekend dalam setiap minggumu tapi tak kamu gunakan dengan baik”. Mereka begitu semangat mengajakku menghabiskan waktu untuk bermain sementara aku tak miliki semangat untuk melakukan segala hal yang aku tahu. Aku masih diam dengan keadaan itu, saat mereka diam dengan harapan jawabku. “kami punya permainan baru, jika kamu menang kami akan turuti permintaanmu, ayoo bangunlah!!!”. Begitu ajakan singkat mereka yang seolah menantangku dan itu membuatku mulai kesal. Mendengar itu aku berkata “aku pasti kalah, aku mundur saja, aku sudah lelah dipermainkan. Aku takut jika kalian mengajakku bermain kalian juga akan meninggalkanku sebelum permainan itu selesai.” Mereka bingung dan kemudian tertawa, mungkin bagi mereka itu hal yang aneh, tiba-tiba aku menjadi sosok yang diam dan berkata demikian. Tetapi nyatanya memang itulah yang aku rasakan. Dan mereka tidak tahu, ini permainan pertama yang membuat aku menjadi tak berwarna dan tiba-tiba gelap. Karena aku dan dia (lelaki itu) belum sempat melihat siapa yang menang dari perlombaan menjaga cinta yang ditipkan waktu, tetapi dia (lelaki itu) telah meninggalkanku. “baiklah!! Kami tau ini masa-masa yang sulit bagimu, tapi ayo lah lakukan aktifitasmu seperti biasa, ini sudah tengah hari kamu bahkan belum makan, kasian cacing yang ada didalam perutmu, nanti kamu sakit.”

“aku sudah terbiasa sakit dan tersakiti, aku sudah kebal, hatiku sudah kebal jika tersakiti, untuk apa aku mengasihani jika aku tak pernah dikasihani akan perasaan yang kujaga, yang kufokuskan hanya untuk satu objek yang sekarang menghilang, yang tanpa pesan, yang jikapun kiminta menjelaskan dia tak ingin menjelaskannya.” Aku tak sadar bahwa semua itu membuat mata mereka berkaca-kaca, aku tak ingin mereka juga merasa sakit dengan sakit yang aku punya, dengan sakit yang aku sendiri tak tau kemana harus kubawa untuk mengobatinya. Dan mereka diam dalam getaran suara yang tertahan seolah tak tahu harus berkata apa. “kami hanya tak ingin menambah sakitmu lebih lagi, cukup hatimu yang sakit, yang tak bisa lagi kami lihat warnanya sekarang, tapi kami tau, semua hanya bergantung pada waktu. Waktu yang akan mengubah hatimu, waktu yang membuat semua harus kamu rasakan. Cukup hatimu yang sakit, kami mohon jangan sakiti juga fisikmu yang sempurna diciptakan Tuhan” salah seorang dari mereka tak sadar menjatuhkan airmata.

Merka tidak tahu. Mereka melihat fisik dan kondisiku saja sudah menangis, apa lagi jika mereka juga merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan. Itu semua menyiksa, begitu tersiksanya aku. Mataku memang tak menangisinya dengan gila, tapi hatiku merasakannya tersiksa.

“jika kamu terus begini, maka dengan perlahan kamu menyakiti dirimu sendiri dan orang disekitarmu, kamu bukan wanita bodoh kan? Rela menjadi tak bersemangat karena orang yang tak pernah memberimu semangat?”

“tapi biarlah sakit secara perlahan dari pada tersakiti dengan spontan, sakitnya akan lebih sakit dari yang kalian bayangkan, kalian hanya butuh waktu untuk melihat aku kembai seperti yang kalian kenal dulu, sementara aku? Aku tak tau kapan aku bisa memperbaiki hati yang tak berbentuk hati ini lagi”

“itu akan sama-sama sakit, sama-sama mengeluarkan air mata”

“tapi hidup memang harus mengeluarkan air mata, agar kita tau bagaimana menjaga kebahagiaan yang akan kita punya kelak”

***

Itulah sakit nyata yang aku rasakan, bagaimana pun bentuknya, sosokitu telah pergi tanpa alasan ‘mengapa’, dan membuat aku bagai daging tak bernyawa. Itu jelas kronologinya, jelas pula sakit yang aku rasa. Aku bukan whiteboard, yang jika ditulis dengan spidol akan bisa dengan mudah dihapus hingga tanpa bekas. Tidak. Aku tidak seperti itu. Tolong mengerti, bahwa aku bukan papan tulis, bahwa aku bukan nabi yang dengan cepat dapat mengikhlaskan sakit yang kau tinggalkan, aku hanya akan berusaha mengikhlaskan keadaan kita dengan waktu yang aku punya, dengan usaha yang kujaga. Tapi tidak dengan keadaan yang membuatku tak sengaja telah menyakiti semua yang ada disekitarku, yang membuatku tak sengaja menyakiti cacing yang ada dalam ususku secara perlahan, karna kini aku tahu, disakiti dengan cara apapun itu, pasti akan menyakitkan.

Bicaralah, katakan apa salahnya aku yang mencintaimu? Jangan biarkan aku menyerah dengan cinta yang dikaruniakan Sang Pencipta padaku...



Plbg, 24 sptmbr 2013
Nrt.vlntn.smnjntk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar