Minggu, 29 September 2013

sakit kita berbeda, tapi cinta kita sama



Aku bahkan tidak tahu apa yang akurasakan malam ini, seperti tak miliki apapun untuk menghilangkan sepi setelah semua berubah. Mungkin kita harus merasakan hal yang membosankan ini. Sendiri. Entah itu hanya perasaanku saja atau memang begitulah nyatanya. Ini bukan gedung tanpa penghuni, setelah aku melewati pintu megah itu harusnya aku tidak lagi merasakan sepi seperti sebelum aku masuk kedalam gedung ini. Tapi itu perkiraan yang salah. Aku melihat banyak yang melintas didepanku, tapi entahlah, itu semua tak memebuatku merasa aku berada ditempat yang ramai. Tak jauh aku berjalan, aku melihat tempat duduk disudut ruang pertama yang aku masuki. Aku duduk, kemudian mengeluarkan gadgetku. Tidak ada hal lain yang aku lakukan selain mendengarkan musik.

 “...Because a girl like you is impossible to find It's impossible..”

“fall for you by secondhand serenade”

Aku tersentak. Aku langsung melihat kesampingku. “itu lagu kesukaanku juga, liriknya yang aku suka” sambungnya lagi. Lelaki putih bersih itu membuatku kaget, entah menagapa dia bisa mendengar musik yang aku putar sementara aku memakai headphone. Mungkin volume musik yang kuputar terlalu besar, hingga dia bisa mendengar dan aku juga tak sadar bahwa dia sudah duduk disampingku. Aku masih diam. “aku Iyan, aku sering melihatmu datang kesini, dan aku semakin sering datang ketempat ini untuk sengaja melihatmu.” Aku tak pernah melihatnya, aku tak tahu dia siapa. “Ooh..” jawabku singkat karna aku tak perduli.

“aku tahu sakit yang kamu rasain sebulan yang lalu. Aku baca blogmu, kamu riri kan?”

“kamu?? Siapa? Tahu apa tentang aku?” aku semakin cemas, aku berusaha mengingat tapi memang rasanya aku tak pernah bertemu orang itu, aku tak tahu siapa dia, dan itu adalah kali pertama aku melihatnya. “jangan heran, aku teman orang yang selalu kau sebut Mr. Jelo. Tapi memang kita tidak pernah bertemu sebelumnya” spontan aku melihat ke arahnya. Mr. Jelo?? Orang itu?? Seakan semua memori tentangnya terulang kembali, semuajelas kronologinya. Dan pria itu (Iyan) berhail membuatku mengingatnya lagi. “aku sudah berusaha melupakannya” harusnya dia tahu seberapa sakit saat itu, dan harusnya dia tak usah menceritakannya lagi padaku. “baiklah, aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu pada masalalumu. Boleh aku menjadi temanmu?” aku sebenarnya tak butuh teman untuk memebuat hatiku pulih, tapii ya sudahlah. “apa istimewanya aku hingga kamu mau aku menjadi temanmu?”. “Aku tak melihat keistimewaanmu, karna itu lah aku ingin menjadi temanmu”. 

“Baiklah, kita berteman, alasanmu tak bisa ku tolak, karna semua orang berhak untuk saling mengenal”. 

***

Setelah pertemuan itu kami sering pergi bersama, tertawa selantang yang kami bisa, berjalan sejauh yang kaki kami sanggup. Semua seperti teman atau bahkan sahabat. Setahun setelah pertemanan itu, Iyan menawarkanku untuk menulis sebuah novel. Kebetulan dia pemilik pertecakan ternama dikota ini, dan kebetulan tim kreatif kantornya menerima tulisanku. “Ri, kamu harus menulis dari sekarang, aku percaya tulisanmu nggak kalah bagus dengan tulisan-tulisan lain”. Itu kalimat yang diucapkannya. Dan aku menerima tawaran itu, karna hatiku masih menunggu Mr. Jelo, aku berfikir dengan aku menuliskan semua yang aku alami itu akan membuat Mr. Jelo yang tiba-tiba menghilang itu dapat kembali lagi. Aku mulai menuliskan semuanya, aku menulis namanya, cerita tentangnya. Dan Iyan pun menerima tulisan itu dengan baik, dia tidak merasa risih dengan sikapku yang terus-terusan masih menuliskan tentang Jelo. Aku hanya diberi waktu tiga bulan untuk menyelesaikan novel itu. Dan selama itu waktuku bertemu Iyan pun berkurang, dan sebagai teman yang baik Iyan mengerti karna ini juga tanggungjawabku pada kantornya. Aku menceritakan bagaimana pertemuan singkat yang selalu membekas itu, bagaimana pesan-pesan singkat kami. Dan akau memasukkan puisi yang kutulis untuk Jelo saat itu, seolah aku lupa bahwa aku pernah sakit karna pria itu, aku menulis ceritanya dengan bersemangat sekali.

Sesuatu yang kurasa, yang menjadi pertanda yang tak mampu aku bohongi dari mataku
Akan kah terwujud semua mimpi bahagiaku tentangmu
Mencoba memulai senyum karna bayangan bahagia bersamamu kelak akan nyata
Untukmu, dan mungkin hanay bersamamu, merajut cinta dibalik kelopak mataku, seolah kau mengajakku berdansa dikerajaan cinta kita kelak
Entah mengapa, tiap detik jantungku hanya berdetak untuk namamu
Lamunanku pun enggan memisah dari bayang senyum indah diwajahmu, sore itu.

***

Belum genap tiga bulan novel itu sudah selesai kukerjakan. Setelah aku melaporkan pada pihak kantor, Iyan berencana ingin mengadakan launching buku pertamaku itu. Seminggu kemudian dikantor sudah banyak dikerumuni wartawan dari berbagai stasiun televisi dan koran serta majalah. Semua orang tahu bahwa kantor Iyan memang kantor besar dan proyek yang dikerjakan disana pasti top, itulah yang membuatku awalnya minder untuk menulis dibawah naungan kantor Iyan.

 “Aku menamainya ‘Jendela Derita’ karena aku menderita tapi tak seperti kelihatan menderita. Aku sakit tapi tak terlihat dimana sakitnya. Seperti jendela, kadang tertutup kadang juga terbuka. Pada saat terbuka seolah dia sedang bahagia, tapi pada saat tertutup kita tidak bisa melihat apa yang sedang dia rasakan. Jendela tak selamanya dibuka, dia juga harus ditutup, seperti hati ini, tak hanya harus merasakan bahagia, tetapi juga harus tahu bagaimana rasanya sakit.” Begitu penjelasanku saat ditanya oleh wartawan mengapa aku memberi judul ‘jendela derita’. Setelah acara launching tersebut, aku dan Iyan pergi ketempat yang sering kami datangi sebelum tiga bulan penulisan novel itu. Disana dia bertanya, apakah tujuanku menulis sudah tercapai. Tentu dia tahu jawabannya. Tidak.

“Ri, apa kamu masih terus inget tenteang Jelo?”

Sentak aku menoleh kearahnya “kenapa kamu menanyakan itu lagi? Moment ini terakhir aku akan mengingatnya, dan setelah ini aku ingin melupakannya, kau tahu kan sakit yang aku rasakan, dia menghilang saat semuanya begitu indah, meninggalkan aku tanpa alasan.”

“itu bukan keinginannya Ri, sakit yang kamu rasakan ngga sesakit yang dia rasain waktu itu. Kalo dia tahu kamu sakit karna dia, mungkin dia akan memilih untuk tidak mengenalmu.”

“maksudmu apa Yan?” aku semakin bingung setelah mendengar ucapan Iyan, pertanyaanku mengapa dia pergi tanpa kabar saja belum terjawab hingga kini, dan sekarang sudah muncul lagi pertanyaan baru.

“Dia manusia biasa Ri, sama kayak kita, diciptakan oleh Tuhan, bukan kehendak kita yang jadi dalam tiap rencana hidup kita, tapi kehendak Tuhan, dia ngga bisa menghindar dari yang namanya takdir. Setahun lalu, kami dikagetkan dengan kabar bahwa Jelo mengidap penyakit, tapi kita semua ngga dikasih tahu, bahkan orangtuanya. Dia memilih diam dengan keadaan yang cuma dia aja yang tahu gimana sakitnya, gimana susahnya dia nahan sakit itu. Kita tau kalo dia sakit setelah semuanya makin parah. Tapi saat itu dia masih sempet bilang ‘aku ngga apa-apa, tolong jangan nangis didepan aku, aku ngga mau dianter dengan tangisan’ itu kalimat semangat yang dia kasih ke kita sementara dia udah lemah. Dia dirawat 3 bulan dirumah sakit, sehari menjelang ulang tahun pernikahan orangtuanya dia berusaha senyum, dia nyuruh aku beli cake buat papa mamanya, dirumah sakit kita ngerayain anniversary papa dan mamanya semuanya ngumpul, dia bilang ‘Ma, terimakasih udah menlahirkan aku kedunia ini, terimakasih untuk cinta yang mama dan papa ajarkan yang ngebuat aku tahu gimana indahnya jatuh cinta. Terimakasih buat semangat yang mama dan papa kasih sampe aku bisa kuat ngadepin penyakit ini. Kalian jangan sedih, jangan nangis, aku aja yang sesakit ini  masih bisa senyum, jangan sesali diri kalian jika aku meninggal karna penyakit ini, aku sayang kalian semua’ dia juga menitipkan surat buatmu”

Riri, setelah kamu baca surat kecil ini mungkin semua sudah kamu lupakan, aku dan semua yang pernah kita jalani dulu. Jangan benci aku yang pecundang ini Ri, cinta aku ngga bisa ngalahin penyakit ini, aku ngga mau kamu semakin sakit karna penyakit yang aku punya ini. Maafin aku Ri, maafin aku, aku ngga bisa memulai apa yang kamu mau, bahkan aku menghentikan semuanya sebelum sempat kita jalani, aku percaya kamu bisa bahagia tanpa aku, aku ngga berarti apa-apa buat kamu dengan penyakit yang aku punya, itu sebabnya aku menghilang. Terimakasih untuk waktu yang pernah kamu luangkan buat aku Ri. Aku sakit, tapi aku bersyukur, karna diberi kesempatan mengena kamu. Aku sayang kamu Riri. Makasi untuk panggilan Jelo dari kamu, terimakasih pesan lagu darimu, sekarang aku benar-benar terjatuh untukmu-' fall for you'.

Sammy


“kenapa aku harus tahu sekarang, kenapa aku ngga dikasih tahu? Kamu harusnya tahu Yan, ini lebih sakit, aku udah jahat, aku udah benci sama dia, aku.....” perasaanku campur aduk saat itu, aku mau marah, tapi aku ngga bisa. “Itu permintaan Jelo, Ri. Maafin aku”. Ini ‘Jendela Derita’ yang sesungguhnya, saat itu air mataku sudah bagaikan air hujan, deras, tak terbatas dan terus mengalir, dia berhasil, membuatku jatuh cinta terlalu dalam, dan sakit terlalu dalam karna tak bisa merasakan sakit yang dia punya waktu itu, aku seolah bagai wanita yang paling jahat. Hari itu juga aku pergi kerumah sederhana yang Jelo punya, aku bukan wanita kuat, aku tidak kuat seperti dia.

“Jelo, aku menyapamu disini dengan sisa air mata yang aku punya, dengan sedikit senyum yang kau titipkan, aku tak sekuat kamu Sammy, bahkan saat kamu ninggalin aku tanpa pesan waktu itu. Aku mengikhlaskan perasaanku kau bawa, walau tanpa balasan, seperti kamu mengikhlaskan nafasmu pada alam ini. Terimakasih Jelo, untuk waktu yang singkat, dan kenangan yang kamu titipkan. Aku sayang kamu. Aku mengisahkanmu dalam jendela deritaku. Selamat istirahat Sammy.”


noratio.valentina.simanjuntak
palembang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar