Senin, 03 Oktober 2016

Surat Untuk Kopi di Kotamu

Pagi tadi jariku melekat pada keyboard laptop yang entah mengapa tiba-tiba ingin ku hidupkan. Lama aku tertegun didepannya dan menatap kosong layar yang tak berarti ini. kosong, seperti sebuah gelas yang berada disampingku. Kemudian aku mengingat bahwa beberapa hari lalu aku sempat membeli kopi hitam. Pagi ini begitu kosong, dan pahit. Untuk kesekian paginya aku bangun dengan tanpa daftar kegiatan yang harus ku selesaikan. Mataku kemudian menyusut jauh pada kenangan-kenangan yang pernah ada di kota ini, dianta riuh kemacetan berselimut debu. Aku pelan berbisik ‘aku pernah mencintai kota ini’ kemudian sekarang apa? Aku tak begitu damai disini meskipun aku tahu bahwa kemanapun tidak akan pernah ada kedamaian yang memaksa tinggal lebih lama. Hingga pada akhirnya aku mencaci kejam pilihanku.

Tinggal di kotamu ini seperti menghabiskan segelas kopi. Aku merasakan pahit dan manisnya. Aku merasakan efek sampingnya dan aku menikmati aromanya. Namun sekarang, kopi itu sudah habis dan tersisa hanya ampas dipinggiran gelasnya. Tidak bisa dinikmati, dia tertinggal hanya untuk memperindah saja. Memperindah aroma yang sudah pernah ku nikmati dan sekarang dia hanya memperindah gelas yang menampungnya.

Aku meneguk kopiku sedikit demi sedikit, terang saja aku harus menikmatinya sambil merangkai kisah di kotamu ini. Tegukan pertama dari gelasku terasa sangat hambar dan sedikit menggigit panasnya. Aku lupa bahwa kopi ini baru saja dibuat, hingga panasnya masih kuat. Meskipun aku tak mengingat berurutan semua kisah dari setiap tegukan kopiku, tapi aku masih mengingat setiap aroma yang menciptakan kisah apapun dari dalamnya.

Sekarang kopiku sudah habis, bahkan rasanya waktuku sudah habis juga di kotamu ini. sejujurnya aku ingin berpindah, dan memilih untuk tidak menikmati kopi di tempat ini lagi. Tapi ada hal yang membuatku berat melangkahkan kaki untuk beranjak jauh atau hanya beberapa langkah.  Dan aku tidak memahami itu. Aku rasa cukup untuk menikmati tenang dan riuh kotamu ini. Aku rasa cukup menciptakan sedih dan bahagia di kotamu ini.

Dan aku rasa aku mencintai kotamu ini namun aku juga membenci kenangan yang ada disini. Aku membenci setiap sudut yang membawaku kembali pada kisah yang sia-sia. Kesia-siaan yang membuatku menertawakan diriku sendiri. Entahlah, itu kesia-siaan yang pernah kuperjuangkan atau perjuangan yang pernah disia-siakan.


Pada langit kotamu kutitipkan pesan, bahwa banyak rahasia yang masih saja tetap menjadi rahasia. Pada udara kotamu kubisikkan kata, bahwa rencana Tuhan belum selesai. Maka pada bumi kotamu ku nyatakan bahwa aku masih akan berjanji sebelum engkau mengetahui janjiku itu.