Pagi tadi jariku melekat pada
keyboard laptop yang entah mengapa tiba-tiba ingin ku hidupkan. Lama aku
tertegun didepannya dan menatap kosong layar yang tak berarti ini. kosong,
seperti sebuah gelas yang berada disampingku. Kemudian aku mengingat bahwa beberapa
hari lalu aku sempat membeli kopi hitam. Pagi ini begitu kosong, dan pahit.
Untuk kesekian paginya aku bangun dengan tanpa daftar kegiatan yang harus ku
selesaikan. Mataku kemudian menyusut jauh pada kenangan-kenangan yang pernah
ada di kota ini, dianta riuh kemacetan berselimut debu. Aku pelan berbisik ‘aku
pernah mencintai kota ini’ kemudian sekarang apa? Aku tak begitu damai disini
meskipun aku tahu bahwa kemanapun tidak akan pernah ada kedamaian yang memaksa
tinggal lebih lama. Hingga pada akhirnya aku mencaci kejam pilihanku.
Tinggal di kotamu ini seperti
menghabiskan segelas kopi. Aku merasakan pahit dan manisnya. Aku merasakan efek
sampingnya dan aku menikmati aromanya. Namun sekarang, kopi itu sudah habis dan
tersisa hanya ampas dipinggiran gelasnya. Tidak bisa dinikmati, dia tertinggal
hanya untuk memperindah saja. Memperindah aroma yang sudah pernah ku nikmati
dan sekarang dia hanya memperindah gelas yang menampungnya.
Aku meneguk kopiku sedikit demi
sedikit, terang saja aku harus menikmatinya sambil merangkai kisah di kotamu
ini. Tegukan pertama dari gelasku terasa sangat hambar dan sedikit menggigit
panasnya. Aku lupa bahwa kopi ini baru saja dibuat, hingga panasnya masih kuat.
Meskipun aku tak mengingat berurutan semua kisah dari setiap tegukan kopiku,
tapi aku masih mengingat setiap aroma yang menciptakan kisah apapun dari
dalamnya.
Sekarang kopiku sudah habis,
bahkan rasanya waktuku sudah habis juga di kotamu ini. sejujurnya aku ingin
berpindah, dan memilih untuk tidak menikmati kopi di tempat ini lagi. Tapi ada
hal yang membuatku berat melangkahkan kaki untuk beranjak jauh atau hanya
beberapa langkah. Dan aku tidak memahami
itu. Aku rasa cukup untuk menikmati tenang dan riuh kotamu ini. Aku rasa cukup
menciptakan sedih dan bahagia di kotamu ini.
Dan aku rasa aku mencintai kotamu
ini namun aku juga membenci kenangan yang ada disini. Aku membenci setiap sudut
yang membawaku kembali pada kisah yang sia-sia. Kesia-siaan yang membuatku
menertawakan diriku sendiri. Entahlah, itu kesia-siaan yang pernah
kuperjuangkan atau perjuangan yang pernah disia-siakan.
Pada langit kotamu kutitipkan
pesan, bahwa banyak rahasia yang masih saja tetap menjadi rahasia. Pada udara
kotamu kubisikkan kata, bahwa rencana Tuhan belum selesai. Maka pada bumi
kotamu ku nyatakan bahwa aku masih akan berjanji sebelum engkau mengetahui
janjiku itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar