Rabu, 15 Februari 2017

Mendadak Pujangga

Salam untuk pemuja yang kuat dalam diam. Dapatkah kalian sampaikan salam selamat datang untukku yang baru saja belajar menjadi pemuja dalam aksara? Aku harusnya menjadi pujangga dalam diam, dengan sejuta kisah sedih untuk mengabadikannya melalui kata. Menjeratnya dengan romantis melalui kalimat. Tapi sayangnya aku gagal, dia justru lebih tajam menusuk hatiku dengan kalimat cinta yang selalu dirangkainya. Menusuk hatiku tapi tidak sakit, bahkan aku suka itu.

Dapatkah aku bergabung bersama para pemuja yang tidak pandai bersuara? Bahkan seandainya gadis yang ku puja itu mengadakan pemungutan suara, mungkin saja suaraku yang terkecil. Sebab semua kekuatanku telah habis untuk mejaga hati ini supaya tak membukakan pintu untuk gadis lain. Adakah sang pujangga yang belajar di gedung sekolah untuk menciptakan sajak indah? Bisa kah aku bersekolah disana? Supaya aku dapat paham bagaimana bisa gadis yang kulihat ayu itu dapat kuat dalam kalimatnya, dan supaya aku mampu menciptakan aksara sekuat kisah-kisah yang dibuatnya. Dia begitu mencekam dengan ceritanya, membaur dengan pesan yang terselip dibalik setiap kata yang dijadikan kalimat. Aku bahkan dengan ikhlasnya terbawa alur dalam setiap kisah yang dikisahkan dengan bahasa yang sederhana namun begitu kuat. Terjebak disetiap ruang diotakku, menjadikan aku sebagai pemuja aksara yang mendadak ingin berenang didalam lautan kalimat-kalimat itu.

Dapatkah aku memahami bagian mana yang menjadi favorit dari setiap tulisannya? Aku menjatuhkannya dengan tanpa sadar. Ya, perasaanku itu. Sudah jatuh berulang ulang kali. Sudah ku isi berulang-ulang kali hingga tumpah meluap. Tapi tetap saja luapannya tak sampai pada hati gadis yang tak bisa kutebak itu. Aku bahkan tak bisa juga menebak perasaanku, bahkan tak ingat kapan pertama kali aku mendengar hati ini berdetak begitu kencang ketika sedetik saja aku mengingatnya. Dan kini aku bermain dengan teka-teki yang pada akhirnya dapat kulihat dari setiap kalimat yang meluncur dari jemarinya. Dan tugasku adalah memainkannya, mempekerjakan otakku untuk menemukan jawabannya. Berharap aku adalah salah satu inspirasi dari satu saja aksara cinta yang diciptakannya.

Keadaan ini sungguh terlihat seperti anak burung yang baru saja bisa terbang. Dia memulai pelajaran mengepakkan sayapnya dibawah hujan yang deras, menyeimbangkan antara kemampuan yang dimiliki dengan tekanan yang didapatkan. Namun tetap saja, dia merasa bangga dapat mengepakkan sayap barunya itu, menikmati tekanannya, dan merasakan kedamaian yang hujan titipkan. Begitulah aku, yang terjebak diantara gadis penuh aksara dan aksara penuh cinta. Keduanya membuatku memerankan pemuja dalam diam yang ingin menjadi pujangga yang berimbang.


Namun kurasa aku gagal, gagal menyambangi hatinya sebagai pujangga. Karena aku belajar dari kata per kata yang dituliskannya, bahwa “Tidak ada cinta yang sempurna seperti aksara berbalas aksara. Karena jika keduanya mengisahkan kisah maka siapa yang akan jadi pembaca? Karena jika keduanya menceritakan kisah maka siapa yang akan menjadi pembawa cerita?”