Sabtu, 11 Oktober 2014

doa tanpa titik

Aku takut jika aku lupa bagaimana cara mencintai kamu yang diam disudut itu. Karena sudah terlalu lama aku hanya bisa sekedar mendoakanmu dari jauh sini. Bahkan hingga usiaku bertambah, tak sedikitpun perubahan keadaan kita menjadi baik. Masih diam. Dingin dan tidak bergerak peredarannya. Aku begitu kuat dengan bungkamku dalam lautan rasa yang masih kujaga walau mungkin kamu tak pernah tahu. Aku belajar menjadi fans fanatic yang ingin mencari tahu segala sesuatu tentang apapun itu yang berkaitan denganmu. Aku berusaha menjaga amarah kecemburuan yang tak sadar ini. Aku berusaha menjadi pelengkap dalam segala ceritamu

Seperti tepat setahun lalu, ternyata ada lensa yang pernah menyorot gambar kita berdua, sore hari ditengah antara angin dan matahari sore. Bisa saja aku menceritakan dengan lengkap kisah sore itu, tapi aku ingin menyimpannya saja untuk kebahagiaanku saja, dan aku ingin kau menebaknya. Kapankah itu, dan bagaimana keadaan sore itu. harusnya aku diam, seperti kamu yang pandai sekali men-diam-i keadaan ini. Dan semestinya aku juga tak bicara banyak tentang perasaanku setelah kejadian sore itu hingga yang terjadi sampai saat ini. Tapi dengan begini maka aku akan mengabadikanmu dari ujung jemariku, dan belajar mengingatmu selalu dalam otak dengan kata demi kata yang aku susun rapi

Beberapa bulan setelah setahun yang lalu dibawah gerimis malam itu, dengan balutan kain merah dan hitam aku menjadi saksi bahwa ternyata aku semakin jauh tertinggal dari kereta kuda yang kau tumpangi, aku hanya sebagian kecil rakyat yang melihat tuannya semakin naik ke tahta yang semakin tinggi. Tak sadar seolah aku tak pernah takut akan langit malam, waktu itu. Ternyata aku berhasil melawan rasa takut akan kegelapan dan datang sebagai saksi baru untuk kisah yang baru yang semakin menjauhkan aku dari rasa yang kau ajarkan untuk aku jaga

Hingga beberapa bulan lalu aku masih ingat jelas, dengan pakaian yang sama dan suasana yang sama, kembali aku melawan rasa takutku untuk sekedar melihatmu bersinar dibawah langit malam. Sekali lagi kuperjelas, aku ingin menjadi pelengkap dalam segala ceritamu. Tapi sayang kau hanya sekedar membacanya dan tak pernah ingin tahu siapa yang ada dalam kisahmu itu. Padahal dulu kau yang selalu mengajarkan aku bagaimana cara untuk mencintaimu, dari segala cara yang membawaku keluar dari tempat gelap yang tak pernah kuinginkan, dari caramu memperkenalkan aku keindahan hidup dalam rasa syukur yang tak pernah henti, dan dari caramu menjaga aku yang dengan mudahnya mau menyusuri malam berdua denganmu yang belum lama kukenal waktu itu. Tapi itu dulu (bagimu)

Tapi yasudahlah. Mungkin semua belum begitu siap dengan waktu yang dipersiapkan Tuhan untuk kita. Dan juga aku masih nyaman diam mencintaimu dalam doa. Setidaknya aku belum lelah mencintaimu dalam doa yang diam-diam kudoakan. Karena awalnya kau mengajarkanku berdoa untuk hidup yang lebih baik, maka kini aku ingin mendoakanmu agar keadaan ini menjadi baik untuk ‘kita’

Aku takut jika aku lupa apa alasanku mendoakanmu, selalu. Karena aku menemukan keindahan ketika mataku terpejam, tanganku menggenggam namamu, dan hatiku berbisik tentang alasan mencintaimu. Aku tidak akan memberi titik diujung kisah ini, karena aku tak ingin semuanya sampai pada titik yang ada dalam kisah ini saja. Aku tak butuh titik sebelum semua kisah yang pernah ada sudah mampu ku mengerti



Sabtu, 04 Oktober 2014

yang dulu menyendiri | benar-benar sendiri

Aku terbuai keindahan kebersamaan yang selama ini kita punya hingga aku lupa bahwa akan ada masa dimana kau pergi menuju jalanmu dan aku dengan jalanku, sebab kita lupa untuk menyamakan tiket perjalanan kita karena kita terlalu asyik dengan kebersamaan yang ternyata sementara itu. tapi tak mengapa, jika kelak aku melangkah maka aku akan ditemani oleh bayang kenangan yang sudah kita punya. Angin yang selalu kau janjikan tak akan lagi kita nikmati bersama, namun begitu langit masih indah menaungi kita ditempat yang berbeda. 

Ternyata aku harus belajar kehilangan kalian semua. Yang berbeda warna denganku, yang berbeda budaya denganku. Dan aku harus belajar menikmati waktu yang aku punya tanpa kalian yang bisa membuatku tak sadar akan waktu yang telah kuhabiskan. Dan ternyata ikatan kita tak begitu kuat untuk menyatukan perbedaan yang kita punya.

Aku yang dulu hanya sesekali ingin menyendiri, kini harus benar-benar sendiri. Tak punya telinga yang benar-benar ingin mendengar, tak punya mata yang benar-benar mengasihi, tak punya hati yang benar-benar tulus. Ternyata lebih mudah menerima dari pada melepaskan. 

Kita bukan lagi sahabat kecil. Kitalah mungkin sahabat hidup. Hidup untuk menghidupkan, hidup untuk mengasihi dan menyakiti. Telinga, mata, dan hati yang tidak akan kupunya lagi itu adalah kalian yang sebagian ingin mendengar, yang sebagian ingin menjauh, dan yang sebagian seolah tak perduli. Walaupun bukankah kita pernah seirama getar suara namun kita belum sempat menyeiramakan getar hati untuk mengasihi.

Entah akan apalagi yang alasan yang aku punya kelak untuk kembali ke kota persinggahanku ini, selain kau dan kalian yang harusnya tetap kuingat. Bayang-bayang persimpangan jalan semakin jelas tergambar dibalik kelopak mataku, semoga ada hal yang membuatku mengikhlaskan jalan ini untuk dicabangkan. Seperti doa kita dalam iman masing-masing, seperti itulah kelak kita akan dipertemukan dengan keindahan wujud dari penantian yang tidak sia-sia.

Genggaman tangan kita memang tak berwujud pada mata tajam, namun tersirat dalam naluri yang ternyata tumbuh selama perjalanan ini.