Sabtu, 04 Oktober 2014

yang dulu menyendiri | benar-benar sendiri

Aku terbuai keindahan kebersamaan yang selama ini kita punya hingga aku lupa bahwa akan ada masa dimana kau pergi menuju jalanmu dan aku dengan jalanku, sebab kita lupa untuk menyamakan tiket perjalanan kita karena kita terlalu asyik dengan kebersamaan yang ternyata sementara itu. tapi tak mengapa, jika kelak aku melangkah maka aku akan ditemani oleh bayang kenangan yang sudah kita punya. Angin yang selalu kau janjikan tak akan lagi kita nikmati bersama, namun begitu langit masih indah menaungi kita ditempat yang berbeda. 

Ternyata aku harus belajar kehilangan kalian semua. Yang berbeda warna denganku, yang berbeda budaya denganku. Dan aku harus belajar menikmati waktu yang aku punya tanpa kalian yang bisa membuatku tak sadar akan waktu yang telah kuhabiskan. Dan ternyata ikatan kita tak begitu kuat untuk menyatukan perbedaan yang kita punya.

Aku yang dulu hanya sesekali ingin menyendiri, kini harus benar-benar sendiri. Tak punya telinga yang benar-benar ingin mendengar, tak punya mata yang benar-benar mengasihi, tak punya hati yang benar-benar tulus. Ternyata lebih mudah menerima dari pada melepaskan. 

Kita bukan lagi sahabat kecil. Kitalah mungkin sahabat hidup. Hidup untuk menghidupkan, hidup untuk mengasihi dan menyakiti. Telinga, mata, dan hati yang tidak akan kupunya lagi itu adalah kalian yang sebagian ingin mendengar, yang sebagian ingin menjauh, dan yang sebagian seolah tak perduli. Walaupun bukankah kita pernah seirama getar suara namun kita belum sempat menyeiramakan getar hati untuk mengasihi.

Entah akan apalagi yang alasan yang aku punya kelak untuk kembali ke kota persinggahanku ini, selain kau dan kalian yang harusnya tetap kuingat. Bayang-bayang persimpangan jalan semakin jelas tergambar dibalik kelopak mataku, semoga ada hal yang membuatku mengikhlaskan jalan ini untuk dicabangkan. Seperti doa kita dalam iman masing-masing, seperti itulah kelak kita akan dipertemukan dengan keindahan wujud dari penantian yang tidak sia-sia.

Genggaman tangan kita memang tak berwujud pada mata tajam, namun tersirat dalam naluri yang ternyata tumbuh selama perjalanan ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar