Selasa, 08 November 2016

Terimakasih hujan

Hujan memang paling bisa. Tidak tahu dia punya kekuatan apa, tapi memang hujan yang paling bisa mengembalikan memori masa lampau atau bahkan mempercepat bayangan masa depan. Baru sebentar saja ia turun tapi aku sudah jauh mengenang bahakan membayangkan. Mengenang masa sulit yang pernah menghabiskan air mata maupun masa suka yang menyimpan tawa. Ini bukan hanya tentang kamu, tetapi juga tentang aku dan mereka. Baik masa sulit maupun masa sukanya.

Baru sebentar lalu rintiknya perlahan terdengar, tapi melodinya mengembalikan segala masa yang pernah kulalui bukan dengan sendirian. Saat banyak tangan yang rela terbuka tanpa diminta, saat banyak telinga yang tak pernah kuminta untuk mendengar, dan saat aku tergulung ombak air mata aku tak perlu mencari bahu mana untuk bersandar. Tapi itu dulu. Entahlah sekarang bagaimana. Entah harus menyalahkan siapa.

Rasanya ada gejolak dari dalam hati untuk menyalahkan waktu, ketika dia berputar maka banyak hal yang akan berlalu. Tapi jahat jika aku mengkambinghitamkan waktu, karena ini bukan salahnya. Dia sudah berputar sesuai kemampuannya, tidak dilebihkan atau dicepatkan. Mungkin yang salah adalah diri sendiri, ketika waktu berjalan justru saat itu kedewasaan kita sudah jauh berlari mendahului waktu yang semestinya.

Merubah diri, menutup hati –sementara membuka hati untuk penghuni lain- bahkan menghilang dengan perlahan.

Dan aku menyesalinya, aku bukan yang terhebat yang bisa membagi 24 jam waktuku ketika banyak hal yang bertambah untuk kupikirkan. Kita sama. Kalian punya 24 jam jatah perhari, dan begitu juga aku. Tapi sayang mungkin hanya sepersekian detik yang kita habisnya untuk sekilas mengingat waktu kita pernah pulang terlalu malam, waktu kita kehujanan tetapi malah tertawa, waktu kita menertawakan sesuatu padahal kita tak lebih sempurna.

Entahlah dewasa itu harus disyukuri atau dicaci maki. Untuk itu semua aku membutuhkan kotak besar dan gembok yang kuat. Untuk menempatkan kenangan indah namun tak perlu diingat lagi, untuk menyimpan rekaman tawa kalian yang mengejek itu, dan untuk semua proses perubahan dari tahun ke tahun yang justru menipiskan bukan untuk menebalkan percaya.

Terimakasih kedewasaan yang selalu dielu-elukan. Sekarang aku lebih menyukai sepi, dimana ada damai yang lebih berarti dibanding ramai yang menikam. Dimana aku hanya bercerita pada diri sendiri, mengenal jauh siapa sipemilik jari yang lebih kuat ini. Yang sejujurnya merindukan berpanas sambil memancing, yang merindukan berlari dikebun orang, yang merindukan menjadi buronan karena ketahuan kabur dari jadwal tidur siang. Dan yang tak mengenal sakit karena kehilangan tangan yang akan memeluk, kehilangan telinga untuk sekedar mendengar, dan bahu untuk bersandar yang semuanya pernah ada tanpa diminta.


Terimakasih waktu, menyempatkanku untuk mengucapkan ‘terimakasih’ yang memiliki kesan untuk mengakhiri...