Rabu, 10 September 2014

Aisyah untuk Abi?


Harusnya jika kau cinta dia, jangan tutupi hal itu dari aku yang terlebih dulu mencintaimu. Padahal aku seringkali menciptakan tawa bersamanya, sering menceritakanmu padanya, sering meminta pendapatnya tentangmu yang aku cintai. Tapi ya sudahlah, kita memang pernah menjalani jalan yang berbentuk hati ini, meski itu tlah berlalu, meski aku hanya akan menjadi masa lalumu. Aku tak mencurigai mengapa kau meninggalkan aku ketika sedang cinta-cintanya aku padamu. Bahkan aku harus membagimu dengan Tuhan, dan merelakanmu memilih jalanmu sendiri. Haruskah kuperjelas bahwa saat itu aku sedang cinta-cintanya padamu? Aku measa gagal menggapaimu ketika kau lebih dulu digapai oleh keindahan tutur kasih Sang Pencipta, yang sudah menghadirkanmu ke bumi ini, hingga aku menjadi penyair melalui goresan gambar yang ku sambungkan titik demi titiknya, yang menggambarkan wajah yang selalu mendamaikan ketika aku sedang gusar.

Wajar saja jika kau menjadi pusat pelabuhan hati para Adam lainnya selain aku. Keindahan parasmu terlihat walau sebagiannya selalu tertutup. Dan wajar pula dia juga mencintaimu, kawan sepermainan yang kadang menjadi pemeran pendukung dalam tawa yang selalu ku-tawa-kan. Dan wajar pula mungkin kau juga menyimpannya dalam-dalam, bahwa kau mengaguminya jauh sebelum aku berhasil menjadi pemilik sementaramu, Aisyah. Jika sekarang kau memintaku untuk memintamu dengan baik pada malaikat tanpa sayapmu, mungkin imanku saja belum cukup untuk menjadi alas pemintanya, tapi cinta yang mulai kusucikan untukmu kelak sudah kujaga, walau mungkin belum bisa kupastikan bahwa kelak cinta itu akan kau terima lagi. Seperti yang kau pinta dari aku, merelakanmu pergi bukan karna dia atau mereka, tapi karna janji dan pengabdian sebagai umat yang meluruskan jalan-jalan hidupmu, aku merelakannya demi cinta yang pernah kau ajarkan padaku, meski kini dengan segala akar yang kuat tertanam, aku harus beranjak pergi walau sesungguhnya aku sudah tumbuh kuat pada hatimu. 

Aku akan mengalahkan kemunafikanku, dimana mulutku berkata tidak sementara hatiku iya. Mungkin hatiku sempat berniatkan menjadikanmu untuk tempat persinggahan terakhir, dan memimpikan bahwa kelak aku akan berani memintamu dengan halal dihadapan orangtuamu, dan menjagamu selain Tuhan kita. Tapi aku memahami hatimu yang lebih mempercayai Dia untuk menjagamu, maka aku mundur dengan harapan bahwa kelak akan ada masa dimana kita bisa bersatu lagi. Tapi bukan berarti aku pernah menyangka bahwa posisiku akan tergantikan oleh dia.

Kumohon jangan biarkan aku menjadi bungkam dalam tumpukan amarah kecemburuan yang kutahankan melihatmu dengannya,jika kau yang memintanya agar aku sepenuhnya merelakanmu maka aku rela, tapi jika kau diam seolah tak ingin aku pergi, bantu aku meredakan kecemburuan yang mungkin sudah tak berarti lagi ini.



Ternyata sekarang aku bukan lagi Abi untuk Aisyah. Aku bukan lagi sebagai pecinta Aisyah. Tapi jika garis tangan yang sudah digariskan oleh Sang Khalik pada tanganku adalah berujung padamu, maka biarlah nanti aku sebagai halalmu menggenggam tanganmu dan menyempurnakan iman ibadahku bersamamu. Yakinkan aku bahwa kelak akan ada hak-ku untuk memiliki, jika bukan engkau maka kelak wanita itu harus menyerupai engkau, Aisyah.