Jumat, 07 April 2017

Bukan salah 'cinta'

Kali ini sengaja kusapa malam yang diam tanpa berniat untuk memulai pembicaraan denganku. Aku memandang langitnya. Dia begitu gelap karena baru saja dia menangis. Aku ingin bertanya mengapa dia menangis malam ini, rasanya seperti diledek padahal sebelumnya kami baik baik saja. entahlah, langit yang ikut menangis melihatku menangis atau aku yang ikut menangis melihat langit yang sedang menangis juga. Tapi rasanya malam ini aku begitu senang, karena tangisku ditemanis oleh air mata langit. Meskipun tak setiap saat dia mengerti bagaimana aku. Tapi seolah langit mengetahui kapan harus menjadi sampul untuk tangisku.

Sejujurnya aku tak ingin bersikap egois pada langit. Seolah aku datang padanya dengan membawa duka yang aku dapatkan. Ya, kali ini aku menyapanya karena aku sedang merasakan duka. Namun tidak sedang berduka. Hanya saja aku merasakan pilu. Ketika itu hingga saat ini aku masih merasakan bahwa langit bagaikan seorang ibu yang menampung segala keluh kesah anaknya. Dan anaknya itu adalah aku.

Anak dari seorang ibu yang bernama langit itu sedang murung, entah oleh karena ibunya yang sedang murung atau memang hatinya sedang tak karuan. Nyatanya dia sudah cukup dewasa untuk sebuah persoalan yang membuat hati tak karuan, tetapi mungkin saja kali ini berbeda. Mungkin saja ini kemurungan yang terpahit dia rasakan. Sementara aku, aku sedang diantara mereka yang melihatnya seperti sebuah drama. Bahwa ada anak yang memiliki hati tak karuan dengan permasalahan yang belum jelas, dan disana ada ibu yang diperankan oleh langit yang seolah begitu mengerti arti dari kemurungan itu –terkadang aku juga ingin menjadi seperti langit, yang mengerti arti dari semua kemurungan karena hati yang tak karuan- mereka bercerita melalui telepati. Anak itu hanya diam dan memandang ibunya. Sementara itu, langit yang memerankan sebagai ibu begitu piawai mengekspresikan duka yang diceritakan anaknya.

Dari tempat dudukku aku menangkap kisah yang sedang diceritakan anak itu. bahwa benar hati yang tak karuan itu membuatnya murung, benar juga bahwa pikirannya sedang kusut, meskipun hatinya tumbuh menjadi subur. Tapi terlihat hal yang seolah begitu menyakitkan, dan kutangkap sebagai titik inti kemurungannya. Dia, anak yang begitu lemah pada dirinya, yang melemahkan hatinya untuk sebuah cinta yang ia tumbuhkan dengan ikhlas. Namun selama cinta itu tumbuh didalam hatinya, ada juga duri yang semakin menusuk. Entah karena tidak ada tempat untuk hati yang semakin besar itu atau karena duri yang salah dan bukan pada tempatnya. Jika kuperhatikan, kehidupan anak itu sedang dalam ambang kerumitan. Kedua-duanya akan begitu menyiksa, antara menumbuhkan cinta yang juga akan menumbuhkan duri atau mematikan cinta dan membunuh hati.

Lalu aku bertanya pada Yang Kuasa didalam hatiku. ‘Tuhan apakah dosa anak itu yang sedang menjaga cinta untuk menghidupkan duri yang akan terus membesar dan menusuk hatinya tanpa sengaja?’ namun mendapatkan jawaban Tuhan tak semudah mendapatkan jawaban untuk soal matematika. Tetapi tetap dalam hatiku aku bertanya-tanya. Bahkan hingga aku pulang dari pergelaran drama itu. aku seolah sedang dalam situasi yang entah bagaimana bisa membuatku tertusuk sakit juga.

Haruskah dia mati pada ujung pilihannya tersebut. Jika untuk berhenti dia membutuhkan energi, dan untuk terus bertahan dia membutuhkan cadangan hati. Anak itu sungguh kuat, dia mampu menanam cinta yang berduri didalam hatinya, yang semakin besar cintanya maka semakin besar pula duri itu akan tumbuh. Duri yang menyimpan racun dari pengkhianatan, duri yang membesar dari kesia-siaan, dan duri yang tumbuh dengan kebohongan. Kemudian aku terus memikirkannya ‘benarkah cinta yang ditanamnya tepat pada tempat yang tepat? yang juga menginginkannya tumbuh? yang juga tempat itu merasakan sakit karena dengan tak sengaja ternyata telah memberikan duri?’

Tuhan, bolehkah aku meminta supaya kuasaMu memberkati cinta yang rumit itu. Supaya apapun ujungnya, tidak ada kesia-siaan pada cinta yang bodoh itu. tidak ada pengkhianatan pada cinta yang mengundang belas kasihan itu, dan tidak ada kebohongan pada cinta yang ditertawakan orang lain itu. Karena mencintai adalah kemampuan kami yang engkau berikan, sementara ketidakmampuan kami adalah mengelak untuk menjadi budak cinta.


Tapi aku lupa, diakhir adegan anak itu mengeluarkan suaranya dan berkata “Aku dengan bodoh memulai cinta ini, menumbuhkannya ditempat yang tak tepat dan membuat hati yang menyimpan cinta itu tertusuk duri. Aku selalu membiarkannya tersiram oleh air mata, membuatkan subur melalui air mata, dan membuatnya mati dalam air mata. Tapi hatiku berkeras pada cintanya itulah sebab ia tumbuh begitu subur sesubur duri itu yang kian membesar.”