Matahari semakin dekat denganku,
ketika aku terbangun dari mimpi tentang kita yang masih sama sebelum aku
memejamkan mata. Jika kau tanya aku lebih menyukai malam atau siang, maka kujawab
aku menyukai keduanya. Hanya, jika saja aku bisa melewati itu denganmu,
menghabiskan malam dengan memimpikan masa depan kita, dan meneguk siang dengan
merancang pondasi untuk bangungan masa depan kita. Karena saat itu aku sadar,
aku dan kamu masih sebagai perancang yang terpisah oleh lautan.
Kau tak menahanku ketika akan meninggalkan
kota tempat kita menghabiskan waktu hanya dengan mengunjungi toko buku, karena
kau tau bahwa ada yang mengikat ketika aku sudah terpikat. Kita sudah
menghabiskan waktu dibawah kota yang tak berawan ini, harusnya akan terasa
panas tetapi setiap detiknya adalah sejuk untuk hatiku. Dan saat itu tiba,
ketika aku harus meninggalkanmu untuk jarak beribu kilometer ada separuh yang
hilang entah kemana. Tapi senyummu memberi pesan, bahwa kau akan menunggu dan
baik-baik saja. Meskipun tak setiap saat ku habiskan dengan menikmati makanan
yang kau buat, entahlah saat itu aku sedang jatuh sejatuhnya dalam cinta atau
karena kau memiliki resep rahasia, yang jelas aku menikmati cinta yang
sederhana ini.
180 malam dan siang ku nikmati
tanpa melihat jelas wajahmu, meskipun sebelumnya sudah pernah kita lalui hal
semacam ini, tapi tetap saja ada pilu rindu yang mengiris. Purnama sempat
berubah, namun di telepon yang ku genggam suaramu tak pernah berubah. Sungguh ada
kesungguhan yang menginginkanmu sekali saja mengantarku ke toko buku di negeri Jiran
ini. Tapi kuasaku bukan sepenuhnya menguasai, tetap saja aku kalah dengan
mimpiku yang terus mengolok.
Hingga pada saatnya aku yang
menertawakan mimpi, karena berhasil mengindahkannya. Aku kembali, dan melihatmu
denagn senyum dan tatapan yang sama. Orang yang menungguku disini, menantikan
kepulanganku untuk sekedar merenung ketika malam tiba.
Pada saat itu kehadiranmu seperti
kaca mata untuk mata yang sudah tak jelas lagi melihat, kau memperjelas
penglihatanku. Aku berharap begitu. Namun ternyata purnama mengajakmu berubah,
memberikanku kaca mata gelap membisukan mataku dan membiarkan aku berteriak. Aku
meninggalkanmu meski kau sudah menunggu lama, aku menambah jarak kita dan
menghindari toko buku yang sering kita kunjungi. Aku mengalahkan emosimu dengan
amarahku yang lebih besar, lebih besar dari rasa cinta yang sudah lama aku
pupuk.
Sekarang bolehkah aku sekedar
memiliki angan untuk rindu padamu? Pada kotak bekal yang kau bawa untukku, pada
toko buku yang kita kunjungi, pada setiap lagu yang kita dengar? Sekarang bolehkah
aku mencemooh diriku yang berhasil lepas dari ikatanmu namun tak terarah lagi langkahku.
Atau bolehkah aku membenci jarak yang membuat purnama dan kamu menjadi tak lagi
sama.
Sekarang tolong jelaskan, bagaimana
malammu dan siangmu yang kau habiskan dengan yang lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar