Karena untuk senja yang terlambat menyapa, akan ada matahari
yang terus mengerti. Dan untuk hati yang lemah menunggu akan selalu ada tempat
baru yang lebih menyatu. Teruntuk rintik hujan yang terus jatuh, meski suaramu
tak terdengar tapi aku akan selalu merasa. Bahwa dinginmu masih sama, bahwa
wujudmu masih sama. Sama ketika aku berada dibawah langit yang kemudian kau
serbu dengan tidak sekedar rintik, tapi sudah berwujud guyuran deras. Disana dingin
menelan hangat darinya. Disana aliranmu menghanyutkan senyum darinya. Disana semua
bertumpu. Tidak menjadi beban, tapi sekedar rasa yang mengganjal.
Dan untuk tubuh yang dingin karena hawa yang bukan hanya
sekedar sejuk. Tubuh yang butuh peluk hangat meski tak nyata saat ini. Untuk
otak yang terus berputar mengelilingi tanya ‘Apakah hujan masih terus selemah
ini?’ lemah karena telah kalah oleh dingin rindu yang terus membeku. Beku karena
tanya lain yang belum terjawab. Tapi apalah aku, suara yang kumiliki tak cukup
kuat untuk menggetarkan rindu, suara yang kumiliki tak cukup tangguh memecahkan
rindu, suara yang aku punya tak cukup hangat untuk mencairkan bekunya rindu
yang sebentar lagi menjadi bongkahan gunung es. Ada apa dengan hujan? Suaranya tak
seperti biasa. Dinginnya tak seperti kemarin. Mengapa airnya seperti tak
terasa? Atau hanya aku yang mati rasa karena menelan mentah-mentah rindu yang
ternyata pahit ini? Meski sekalipun rasaku sudah dihidupkan kembali olehnya,
tetap saja hujan kali ini akan menjadi salah satu cerita yang tak begitu indah.
Karena waktu telah menggoreskan ingatan, bahwa hujan malam ini adalah lemah. Entah
karena rinduku yang telalu kuat, atau aku yang terlanjur mati rasa oleh pahit
ini.
Aku tak paham kenapa aku dirajai tanda tanya sebanyak ini. Padahal
aku tak begitu lemah untuk terus berpikir menemukan jawabannya. Tapi kali ini
aku sendiri memunculkan pertanyaan yang entah siapa bisa menjawabnya. Katakan saja
bahwa aku sudah dicandu rindu yang hampir beku yang kemudian retak dengan
sendirinya. Entah karena pertahananku terlalu kuat atau karena waktu yang
memanaskan bumi terlalu cepat, hingga perlahan mematahkan bongkahannya. Ketika cairnya
tertampung menjadi kolam, ketika itu juga ternyata aku akan ditenggelamkan
hingga mati tanpa sebab, bukan lagi dihanyutkan kemudian tersangkut, tetapi akan
mati. Ternyata rindu sekejam itu jika terus kubiarkan tumbuh. Tapi baiknya
begitu agar tidak lagi aku merasakan rindu-rindu lain yang lebih kuat dari
hujan, yang jika terus ada, dia akan menggantung leherku diranting zona yang
tak berada dipermukaan tanah dan juga tak berada diatas langit. Bisakah waktu
pastikan aku harus terhempas kebumi atau mati kemudian tinggal diawan? Bisakah ada
yang memulihkan jiwa yang separuhnya mati karena terus meneriakan rindu yang
tak bersaut ini? Bukan hanya pada sebuah pelukan, tapi juga untuk tawa dibawah
atap yang menyatukan kehangatan. Aku seolah mati tapi hidup. Entahlah, hujan
yang melemah, atau aku yang terlalu kuat. Entahlah, aku terlalu peka atau mati
rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar