Tentang batu yang diam dan berat. Tentangnya yang berat
dalam diam dibawah langit yang terkadang gelap hitam. Padahal gelap tak
selamanya hitam, begitupun yang berat bukan hanya batu saja. Tapi batu hanya
berat tanpa arti apapun. Kosong tak berkisah apapun. Begitupun setubuh jiwa
yang berat namun kosong. Bahkan garis tangan yang bersautan tak mengartikan
apapun untuk rongga yang dalam itu. rongga diantara tulang rusuk untuk tubuh
yang kuat, tapi perlahan keropos untuk kisah gelap tanpa nama. Hanya aku dan
kau dan kekosongan ini. Yang terkadang aku rindukan tapi bukan dirinya. Yang terkadang
aku cari tapi bukan yang harusnya untukku. Apalah aku diantara berbukitan batu
yang berat itu. Diantara tanjakan yang sering menjadi tempatmu mendaki, melatih
kaki untuk melangkah lebih jauh.
Mungkin juga tentang tanganku yang tak cukup untuk
menghangatkan dingin dibadanmu, dingin dari air hujan yang dijatuhkan langit
gelap dan berat oleh uap panas. Yang terjatuhkan untuk sebuah harapan penghapus
panas dibumi ini. Aku butuh angin, untuk melayangkan angan bahwa aku tak
sekedar batu diantara perbukitan batu yang lainnya. Yang berat hingga tak dapat
digeser, yang kosong walau sebenarnya menjadi timpaan, meski hanya untuk sebuah
beban ringan.
Untuk rindu yang kadang aku butuhkan, rindu yang membuat aku
kosong dalam berat seperti batu namun padat tak berongga seperti harapanku yang
padat menimpa rindu yang hanya sia-sia saja. Bahkan aku sudah memakan waktu
membalikkan harapan bahwa aku yang akan habis dimakan waktu. Tapi seperti
mengelak untuk mati karena rindu. Rindu untuk menjadikan kekosongan ini berarti
indah.
Apa aku hanya akan menjadi batu yang berat namun kosong itu
(?)
Yang begitu susah untuk digeser namun tak berguna untuk
apapun. Yang terkadang terpakai jika untuk melemparkan penat saja. Oh, bukan,
aku bukan seperti batu yang kosong namun padat dan berat itu. tapi aku seperti
lukisan abstrak yang terkadang terlihat indah dimata pe-lihatnya. Yang salah
satunya adalah ‘kau’. Dan bahkan tentang lukisan yang abstrak itu, ternyata aku
sudah menjadi se-abstrak langit yang gelap meski bukan selamanya hitam.
Apa aku ternyata hanya sekedar lukisan abstrak yang tak
semua bisa melihat keindahannya (?)
Tentang abstraknya aku tak mampu ungkapkan, tentang kacaunya
aku tak bisa muluskan. Aku segaris warna pada lukisan itu (mungkin). Terselip diantara
warna lain yang berjuta keindahannya. Yang jika jeli, maka akan terlihat dimana
letaknya. Pastinya garis itu hanya untuk pelengkap untuk rangkaian warna yang
terbentuk menjadi lukisan abstrak, yang sekali lagi ‘keindahannya hanya untuk
mata tertentu’
Namun apapun dia dalam lingkar hidup sepasang hati dan
jantung itu, entah sebagai batu yang berat dan kosong ataupun lukisan abstrak yang
keindahannya tertutupi itu, dia tetap rindu untuk kehadiran angin yang juga
membawa kehangatan diantara ruang lima jari yang dia miliki. Rindu saat dingin
tak hanya berselimutkan kain. Rindu untuk tidak menjadi batu dan lukisan
abstrak diantara keindahan lain dalam 24 jam punyamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar