Seperti yang pernah kutuliskan, aku ingin menjadi hujan yang
menghadirkan pelangi. Aku ingin mengingat kembali mengapa aku memulai, mengapa
aku mempersilahkanmu masuk tanpa syarat. Akan kuulang. Aku mencintaimu. Mencintai
segala kenyamanan yang kurasa.
Untuk kesedihanmu aku miliki tangan dan pundak yang akan
menyamankan. Meski tak seutuhnya gundahmu hilang dalam sekejap, setidaknya aku
tak menertawakan kejatuhanmu. Selayaknya hujan yang memberi air membasahi
tanah, selalu ada makhluk yang membencinya, sedangkan ada banyak nyawa
membutuhkan hujan turun. Begitu mungkin hadirnya aku dulu, sebelum seutuhnya
hatimu melekat padaku. Hingga kini, kita bagai langit dan bumi yang selalu
beriringan kemanapun, yang bayangnya pun selalu diikuti matahari. Untuk langkahmu
yang akan semakin jauh, aku punya ucapan yang tak pernah lelah untuk aku
katakan. Dan untuk setiap pergimu, ada pintu yang selalu terbuka menunggu
kepulanganmu walau entah darimana saja. Aku mungkin takkan terlelap hingga
engkau tiba diperaduanmu. Itu masih kulakukan hingga kini. Dan setiap
khawatirku, itu seperti ibu yang mengkhawatirkan anaknya ketika belum pulang. Untuk
doamu, aku selalu memiliki ‘amin’ meski kusampaikan pada Tuhan-ku. Aku meyakini
ada keindahan untuk ‘kita’.
Seperti biasa malam selalu mengindahkan tidur dengan segala
mimpi indah, dan langit seolah bercerita dalam mimpiku bahwa ada kisah yang
sudah hampir membosankan, sejenak saja aku terbangun, meski awalnya indah tapi
itu akan menjadi nyata yang buruk jika terjadi. Aku ingin malam menceritakan
kembali bagaimana aku jatuh cinta. Tidak justru diam dan mempersilahkan aku
semakin mendiami aku didalam hal yang sudah sangat terlalu biasa. Membiarkan aku
lelah bersandar pada dinding yang dingin. Padahal malam mengerti apa yang tak
bisa aku ucapkan ketika aku mempersilahkanmu masuk tanpa syarat. Dan karena
malam aku selalu ingin berada dalam ingatanmu. Bukankah seharusnya kisah ini
tak boleh hampa? Untuk itulah malam harusnya memutar kembali alasan mengapa aku
mengikatkan diri padanya.
Ada rindu dari kapal yang berlayar jauh ditengah laut, yaitu
senja. Senja yang mengembalikannya ketepian, mempersilahkannya untuk tidur dan
bermimpi tentang bagaimana pagi datang dan kapal harus mulai berlayar, meski
berulang ia tak pernah bosan karena ada keindahan laut yang dilihatnya. Aku ingin
begitu, melihat keindahan yang kita punya setiap kali kita mengingat alasan
untuk jatuh cinta. Memutarnya kembali dilangit malam sebelum tidurku, karena
ternyata aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta pada apa yang selalu dia katakan
meski dulu belum saling menggengam padahal sudah menjaga melalui mata. Aku jatuh
cinta pada apa yang tak pernah berwujud namun selalu menjadi hal yang aku
rindukan. Hingga aku jatuh cinta pada apapun yang saling membuat kita marah
karena cemburu. Dan seperti langit yang merindukan matahari setiap malamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar