Kurang tegar apa aku? Mengetahui bahwa kelak apa yang sudah
menjadi kebiasaanku akan hilang. Cuma aku yang tetap tinggal disini dan
melihatmu pergi sambil melambaikan tangan. Meski diam, wajahmu akan
menggambarkan kesedihan dan meninggalkan kenangan. Entah bisa atau tidak aku
berdamai dengan masa itu. Kamu. Yang akan menjadi masa laluku kelak. Meskipun begitu
aku tidak akan menanyakan ‘Mengapa kau menjatuhkan hati sejatuh-jatuhnya
padaku, sementara pada ujungnya kau akan pergi?’ Karena aku paham. Mataku melihatnya,
telingaku mendengarnya, lalu hati dan otakku berimbang memikirkannya.
Kasihmu bukan kegelapan, tapi aku seolah lilin yang
menerangimu dan begitu juga kau. Aku memberikan cahaya, tetap bersinar meskipun
aku tahu bahwa waktuku akan habis jika aku selalu menerangimu. Yang tersisa hanya
lelehan yang akan membeku. Anggap saja itu kenangan. Tetapi ingat bahwa aku
akan tetap memberimu pengingat bahwa aku pernah menjadi lilinmu. Dan kau juga
begitu untukku.
Seperti ada yang nyeri ketika harus keluar dari pintu
kemudian melangkah lalu melihat ternyata ‘aku’ adalah ‘AKU’ yang tidak sepadan
denganmu. Meskipun tidak sampai diujung, tapi aku dan kamu serta mereka sudah
tersirat digaris tanganku. Bahwa pada usiaku ini aku ditempatkan dikeadaan ini
dengan tawa dan air mata yang seimbang.
Hanya kita yang tidak seimbang. . .
Aku tidak seimbang, antara hati dan otakku. Kadang otakku
mendominasi hingga aku pernah menyerah, menyerahkan aku pada alam dan membiarkan
alam menghakimi aku. Menghakimi hatiku yang buta, yang meraba, yang begitu
sakit jika semenit saja waktu terbuang tanpa kesan darinya sementara tidak
pernah ada prediksi bahwa aku bisa memakan waktu dan membaginya denganmu
selamanya.
Kenyataan dan mimpipun tidak seimbang, tak ada yang bisa
menjaminkan apapun. Dan aku merasa melayang diantara bumi dan langit. Antara
kenyataan dan mimpi. Kita belum saja tertampar oleh kenyataan, karena bagian waktu
kita masih untuk bermimpi. Kita tidak begitu seimbang. Sebenarnya ini tidak
sakit, tapi hanya perih saja, dan itu permanen.
Bahkan berulang kali aku berusaha mengalahkan waktu,
menentang aku sendiri. Ternyata sama kuatnya dengan perih yang terus terasa. Aku
dan kamu adalah tidak seimbang. Aku dan rasaku serta egoisku adalah perih. Kamu
dan cintamu adalah kenyataan yang rasa mimpi...
Begitulah ternyata aku bukan penolong yang sepadan dengamu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar