Senja masih menyukai jingga,
hingga berlalu dan berubah, tetap dengan setia menunggunya. Entah apa
istimewanya tapi yang jelas ketika melihat mereka bertemu ada keindahan yang
tak bisa dijelaskan. Tidak lama pertemuan keduanya berlangsung, dan tidak bisa
jikalau keduanya egois melawan waktu. Karena sudah pernah kukatakan bahwa
–waktu itu jahat, karena jika sudah berlalu tidak akan pernah kembali untuk
sebentar saja mengulang-
Satu ketika matahari dengan
malunya terbit untuk kehangatan, akan ada embun yang menghilang, demikianlah
mereka selama hidupnya tak pernah bertemu, meski untuk saling berlalu. Berbeda
denganku yang menemukan gadis yang duduk sendiri menahan air mata. Aku mungkin
bukan pria penemu, tapi entah mengapa saat itu seolah aku menemukan hati yang
kehilangan separuh lagi. dengan lembut aku mengulurkan tangan, meskipun mungkin
dia tidak membutuhkannya. Tidak membutuhkan apa yang kurasa dia butuhkan dalam
hidupnya. Seperti matahari, mungkin aku tak tahu saja bahwa yang dibutuhkannya
juga adalah bulan. Sementara aku hanya matahari. Mengiringnya pergi kemana
saja, dengan keadaan yang bagaimana saja. Tapi itulah awalnya. Hingga
kuberanikan untuk membingkai sebuah lukisan bersamanya. Mungkin indah. Tapi
entahlah menurut mata yang lain.
Seperti matahari, akupun punya
masa waktu yang sudah ditentukan Sang Ilahi. Meski ku katakan tungu, tapi
sayangnya, waktuku bukanlah waktu Tuhan. Karena Tuhan hanya menjatahkan aku
pada mangkuk waktu yang kecil. Namun satu hal yang sudah aku tau, bahwa mangkuk
yang aku punya, sudah ku isi bersamanya, dengan air jernih. Dan aku tak butuh
mangkuk yang besar, yang akan bisa menjauhkan aku dengannya tanpa keinginanku.
Sekarang ku antarkan gadis itu
ketempat dimana aku bertemu dengannya. Ditempat duduk yang pernah menemukan kami
berdua. Bukan untuk mengembalikan apa yang sudah tidak kubutuhkan, aku hanya
ingin merapikan dan mengembalikannya seperti awal kami bertemu. Sementara
mangkuk yang aku punya itu, kusimpan tanpa perlu siapapun yang tahu. Bahkan
dia, sebab aku ingin ketika sudah menjelang senja usiaku, aku mengisahkan
hidupku yang biasa ini ternyata sudah melewati hal yang sangat amat luar biasa.
Ada sepenggal doa untuk waktu
yang tak terlihat namun terus mengikuti, ada banyak terimakasih untuk waktu
yang sudah jahat mempertemukan lalu memisahkan, dan ada sepasang jantung yang
kini belajar untuk berdetak dengan normal untuk bersyukur. Bahwa tugas
diepisode ini sudah selesai, dan ternyata Sang Ilahi membantu dua insan memulai
dan mengakhiri dengan baik.
Aku-lah pria, yang pernah dengan
lembut mencintai dan dengan indahnya dicintai, meski bukan untuk selamanya dan
bukan untuk yang terbaik. Karena aku hanyalah matahari saja, sementara bumi tak
selalu membutuhkan matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar