Hal yang sakit itu bukanlah ketika aku harus menunggu walau
tak pernah tahu kapan akan berakhir. Tapi yang sangat menyakitkan itu adalah
menerima kenyataan bahwa aku harus benar benar melupakan segala hal yang
membuatku selalu ingat tentangmu. Yaitu ‘cinta’.
Perasaanku tak cukup dikatakan sebagai perasaan cinta saja,
dia lebih dari segala hal yang pernah kau tahu. Dia menyatu dalam urat tangan
yang selalu terlipat untuk berdoa. Dia menjadi salah satu alasan mengapa aku
harus mengucap syukur setiap harinya. Dan itu semua bukan tanpa alasan megapa
aku bisa menjadi wanita yang separuh hatiku hampir dimiliki dia.
Aku tak katakan yang lain tidak baik, hanya saja ketika
mencoba men-taut-kannya aku tidak merasakan kenyamanan selayaknya aku didekat
dia. Itulah alasan mengapa aku belum bisa menerima sangkutan lain untuk
layangan cinta ini. Dia menjadi bola yang bulat, tak ada kesempatan untuk
memutuskan tiap sisinya, bercengkrama hanya pada yang ada dalam lingkarannya, berdiam
didalamnya tanpa satu orang pun yang tahu. Begitulah kau- yang sulit untuk
kubaca isinya. Yang membuat aku ragu untuk terus bertahan atau beranjak pergi
walau itu semua begitu sulit. Yang mengajak bermain jika ada yang memulainya.
Tidakkah dia bisa memutuskan sesuatu dengan tepat? Supaya tidak
aku tergoda untuk terus menunggu setelah melihat tatapannya yang begitu dalam? Aku
menjadi wanita jahat semenjak menjaga hati yang tak pernah kau minta ini. Karena
ketika aku menunggumu ternyata ada yang lain juga menungguku untuk datang.
Jangan per-tebal lapisan hatimu, supaya kau bisa merasakan
dan peka akan apa yang pernah kau tumbuhkan ini. Sejujurnya aku takkan pernah
menjadi seperti ini, kecuali jika aku tak pernah bertemu dan mengenalmu, jauh dan
lebih dalam lagi. Salahnya ketika kau menjemputku dalam perjalanan itu aku
menutup mata dan menikmati keindahannya sehingga aku lupa untuk menghapal jalan
kembali ketempatku semula.
Dan sekarang aku harus perlahan menutup, kemudian kembali
membuka jalan lain untuk aku lalui. Meski kenyataannya, hal itu lebih sulit
dibanding sekedar bersabar menantikanmu pulang dari ke-sibuk-an yang tak pernah
kau jelaskan.
Mungkin jemariku lebih hebat dari mulutku. Karena aku tak
sanggup mengungkapkan dan malah bisa mensuratkannya walau tak pernah ada kata
yang tepat untuk perasaan yang tersirat ini. Dan ternyata juga hatiku lebih
kuat dari jemariku. Karena sanggup bertahan dengan -cinta- yang tak pernah kau
baca melalui tulisan tanganku. Tetapi sekarang, kau-lah yang terhebat. Sanggup menumbuhkan
perasaan yang begitu hebat ini. Sanggup meninggalkan perasaanmu yang begitu hebat
juga. Sanggup mengungkapkannya dengan lantang walau bukan padaku. Dan sanggup
diam hingga aku mencoba melepaskan jubah yang kau pasangkan untuk menghangatkan
perasaan ini.
Kau-lah yang hebat dalam permainan ini, padahal kau hanya
segambar dengan lingkaran. Bulat dan tak terlihat sisi mana yang bisa
diputuskan untuk pintu agar aku bisa tahu isi didalam hatimu. Mengapa mungkin
kau begitu? Mungkin karena kita sudah saling melukai tanpa sadar. Itulah kisah
yang mencintaimu tak perlu waktu semalam, sedangkan melupakanmu aku habiskan
waktu bermalam-malam. Akan kuputar arahku, meski terasa berat padahal aku tak membawa beban berat. Tapi hatiku-lah yang menjadikan jalan ini semakin berat untuk kutinggalkan.
Akankah kau sadar, bahwa aku begitu rela membiarkan hatiku menangis tanpa terlihat oleh siapapun hanya agar aku bisa bertahan ditempat ini. Sekuat apapun jeritan dalam hatiku mungkin kau tak pernah akan mendengarnya padahal sekuat itulah keinginanku agar kau menjemputku dari tempat yang kau tinggalkan ini.