Kali ini sengaja kusapa malam
yang diam tanpa berniat untuk memulai pembicaraan denganku. Aku memandang
langitnya. Dia begitu gelap karena baru saja dia menangis. Aku ingin bertanya
mengapa dia menangis malam ini, rasanya seperti diledek padahal sebelumnya kami
baik baik saja. entahlah, langit yang ikut menangis melihatku menangis atau aku
yang ikut menangis melihat langit yang sedang menangis juga. Tapi rasanya malam
ini aku begitu senang, karena tangisku ditemanis oleh air mata langit. Meskipun
tak setiap saat dia mengerti bagaimana aku. Tapi seolah langit mengetahui kapan
harus menjadi sampul untuk tangisku.
Sejujurnya aku tak ingin bersikap
egois pada langit. Seolah aku datang padanya dengan membawa duka yang aku
dapatkan. Ya, kali ini aku menyapanya karena aku sedang merasakan duka. Namun tidak
sedang berduka. Hanya saja aku merasakan pilu. Ketika itu hingga saat ini aku
masih merasakan bahwa langit bagaikan seorang ibu yang menampung segala keluh
kesah anaknya. Dan anaknya itu adalah aku.
Anak dari seorang ibu yang
bernama langit itu sedang murung, entah oleh karena ibunya yang sedang murung
atau memang hatinya sedang tak karuan. Nyatanya dia sudah cukup dewasa untuk
sebuah persoalan yang membuat hati tak karuan, tetapi mungkin saja kali ini berbeda.
Mungkin saja ini kemurungan yang terpahit dia rasakan. Sementara aku, aku
sedang diantara mereka yang melihatnya seperti sebuah drama. Bahwa ada anak
yang memiliki hati tak karuan dengan permasalahan yang belum jelas, dan disana
ada ibu yang diperankan oleh langit yang seolah begitu mengerti arti dari
kemurungan itu –terkadang aku juga ingin menjadi seperti langit, yang mengerti
arti dari semua kemurungan karena hati yang tak karuan- mereka bercerita
melalui telepati. Anak itu hanya diam dan memandang ibunya. Sementara itu,
langit yang memerankan sebagai ibu begitu piawai mengekspresikan duka yang
diceritakan anaknya.
Dari tempat dudukku aku menangkap
kisah yang sedang diceritakan anak itu. bahwa benar hati yang tak karuan itu
membuatnya murung, benar juga bahwa pikirannya sedang kusut, meskipun hatinya
tumbuh menjadi subur. Tapi terlihat hal yang seolah begitu menyakitkan, dan
kutangkap sebagai titik inti kemurungannya. Dia, anak yang begitu lemah pada
dirinya, yang melemahkan hatinya untuk sebuah cinta yang ia tumbuhkan dengan
ikhlas. Namun selama cinta itu tumbuh didalam hatinya, ada juga duri yang
semakin menusuk. Entah karena tidak ada tempat untuk hati yang semakin besar
itu atau karena duri yang salah dan bukan pada tempatnya. Jika kuperhatikan,
kehidupan anak itu sedang dalam ambang kerumitan. Kedua-duanya akan begitu
menyiksa, antara menumbuhkan cinta yang juga akan menumbuhkan duri atau
mematikan cinta dan membunuh hati.
Lalu aku bertanya pada Yang Kuasa
didalam hatiku. ‘Tuhan apakah dosa anak itu yang sedang menjaga cinta untuk
menghidupkan duri yang akan terus membesar dan menusuk hatinya tanpa sengaja?’
namun mendapatkan jawaban Tuhan tak semudah mendapatkan jawaban untuk soal
matematika. Tetapi tetap dalam hatiku aku bertanya-tanya. Bahkan hingga aku
pulang dari pergelaran drama itu. aku seolah sedang dalam situasi yang entah
bagaimana bisa membuatku tertusuk sakit juga.
Haruskah dia mati pada ujung
pilihannya tersebut. Jika untuk berhenti dia membutuhkan energi, dan untuk
terus bertahan dia membutuhkan cadangan hati. Anak itu sungguh kuat, dia mampu
menanam cinta yang berduri didalam hatinya, yang semakin besar cintanya maka
semakin besar pula duri itu akan tumbuh. Duri yang menyimpan racun dari
pengkhianatan, duri yang membesar dari kesia-siaan, dan duri yang tumbuh dengan
kebohongan. Kemudian aku terus memikirkannya ‘benarkah cinta yang ditanamnya
tepat pada tempat yang tepat? yang juga menginginkannya tumbuh? yang juga
tempat itu merasakan sakit karena dengan tak sengaja ternyata telah memberikan
duri?’
Tuhan, bolehkah aku meminta
supaya kuasaMu memberkati cinta yang rumit itu. Supaya apapun ujungnya, tidak
ada kesia-siaan pada cinta yang bodoh itu. tidak ada pengkhianatan pada cinta
yang mengundang belas kasihan itu, dan tidak ada kebohongan pada cinta yang
ditertawakan orang lain itu. Karena mencintai adalah kemampuan kami yang engkau
berikan, sementara ketidakmampuan kami adalah mengelak untuk menjadi budak
cinta.
Tapi aku lupa, diakhir adegan anak
itu mengeluarkan suaranya dan berkata “Aku dengan bodoh memulai cinta ini,
menumbuhkannya ditempat yang tak tepat dan membuat hati yang menyimpan cinta
itu tertusuk duri. Aku selalu membiarkannya tersiram oleh air mata, membuatkan
subur melalui air mata, dan membuatnya mati dalam air mata. Tapi hatiku
berkeras pada cintanya itulah sebab ia tumbuh begitu subur sesubur duri itu
yang kian membesar.”