Selasa, 08 April 2014

aku punya cara lain untuk umpan yang sederhana

Memang tak seperti mereka yang bisa menari bersama setiap pasangan hidup yang sekedar hanya ada sebagai pelengkap sebuah nama. Tapi aku. Aku rela dewasa menjadi celaan karna perasaan yang selalu kusimpan tanpa tahu kapan waktunya untuk mengungkap. Bahkan hingga pelangi tak lagi menghias langit, dan ketika senja tak bertemankan matahari aku masih saja menyimpannya jauh didalam yang aku punya. Harusnya kau tahu, bahwa aku sudah tak punya lagi kumpulan kata yang bisa merangkai betapa seluruh hati hanya berharap pada satu nama saja. Aku tidak bisa membohongi malam yang ketika itu bertanya, mengapa engkau bertahan dalam sepimu. Itu karna sesungguhnya aku masih mendengar keramaian-keramaian yang tak pernah hilang, hanya aku yang bisa merasakannya bahwa aku merasa nyaman ketika keramaian itu menderu dalam jiwaku. Keramaian-keramaian dari sebagian langit yang memberikan hujan tanpa pelangi. Keramaian dari pohon yang berbunga tanpa membuahkan buah yang manis. Itu lah keramaianku, yang hanya aku dapat memaknainya. Damai ketika mendengar suara hujan yang turun seolah me-nina-bobo-kan aku yang terkadang lelah, sementara hujan itu tak menitipkan pelangi. 

Jangan biarkan aku menjadi seperti bulan yang tak berkawan dilangit malam itu. Yang gelap tanpa sinar dari sudut lain. Dia tak akan begitu indah dengan sinarnya sendiri. Tak akan begitu terang dengan sinar yang dipancarkannya sendiri. Datanglah, temani bulan itu, jadilah bintang yang memberi warna lain pada gelapnya langit malam itu. Walau sungguh dia mampu sendiri, tapi dia tak begitu indah bila tanpamu. Sama seperti wanita itu. Yang menunggumu walau habis segala daya yang dia punya. Walau hampir enyah segala harap yang disimpannya. Hingga wanita itu terkesan hina karna masih saja berharap padamu yang akan menjadi pelengkap keindahannya. Mungkin baginya kau seolah tersimpan diantara semua yang tak berwujud yang membunuh sebagian senyum yang harusnya tumbuh merekah setiap paginya.  Langkahnya sudah berlari dari garis yang dahulu, dari kecaman yang tersurat pada langit malam yang terkadang menggambarkan kesan hina pada diri gadis itu. Matanya tak cukup kuat untuk menahan pandangan yang selalu ingin memandangmu, begitu juga hatinya yang meniatkan ingin merangkai nada agar tawanya senada dengan tawamu, walau dia tahu hanya mereka (temanmu) yang bisa mengambil sebagian kecil keindahan itu.

“Aku mampu melihat gadis itu dari jauh, tak seperti kamu yang pernah mengajaknya kemudian meninggalkan gadis itu hidup dalam tanda tanya tentang ke-jauh-anmu yang tiba-tiba itu. Aku mampu melihat pandangan tajam matanya. Seandainya fokusnya itu mampu kau lihat, mungkin hatimu pun akan luluh dalam ketulusan hati yang menjaga cinta hanya untukmu. Bahkan ketika dia mengetahui bahwa ada gadis lain yang mengundangmu untuk datang kerumahnya dan diam bersamanya kelak, dia merasa semakin menjadi kecil dan perlahan mati dalam harapan besar akan memilikimu. Ini yang disampaikan wanita itu, pesan yang menjelaskan perasaan yang sempat kau pancing dengan umpan sederhana tetapi dia membalasnya dengan cinta yang sempurna.”

‘Aku bukan wanita yang mampu mengungkapkan perasaan yang kurasa
Aku hanya ingin mencintaimu dengan caramu mendekati aku.
Bukan dengan sederhana caramu, melainkan dengan sempurna hatimu.
Aku mencintaimu dengan ikhlas jika kau tak memandangku lagi, jika matamu tak melihat kearahku lagi.
Maka kubiarkan dirimu bebas memilih, walau cinta lain tak bisa bebas menghampiriku’

Mungkin aku tak bisa menjelaskan beruntung atau tidaknya kau bisa membuat dia jatuh cinta padamu, tetapi ketahuilah, gadis itu seringkali meneteskan air mata dalam hatinya dan pasti sakit yang dia rasakan lebih sakit dibanding dengan tangis yang meneteskan air mata pada pipinya, seringkali dicerca mulut-mulut lain yang tak pernah tahu betapa besarnya perasaan yang dijaga hanya untukmu. Tapi kau, yang seolah memancingnya untuk memfokuskan hati hanya untukmu kini seolah menjauh tanpa alasan yang jelas. Banyak pemancing dengan umpan lebih yang mendekatinya, tapi dia hanya memilih pemancing sederhana dengan umpan sederhana pula, yaitu ‘kau’. Baiklah, dia yang bernafas, yang menghirup udara karna dia memiliki hati dan menghembuskannya untuk kerelaan hati. Dia menghirup udara segar Tuhan ini karna didalamnya bercampur hembusan tawa dari setiap mereka yang berarti, termasuk engkau, dan menghembuskannya untuk melepaskan segala rasa yang sempat tertahan walau tak dapat terucap oleh ucapannya. Biar nanti bahagia yang bercampur tawa itu datang sendiri tanpa perlu dia menjemputnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar