Pelangi. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.
Berbeda? Ohh jelas. Tapi mengapa mereka
bisa menciptakan sebuah keindahan yang indah? Mereka bisa mengimbangi setiap
mereka agar tidak terlalu mencolok. Mereka bisa melengkapi satu sama lain agar
terlihat indah. Mereka bisa menerima kelebihan dan kekurangan dari kuat atau
lemahnya warna mereka. Mereka tidak bersuara, tidak berbicara, tida melihat. Bahkan
mungkin mereka tidak sadar bahwa mereka sudah saling melengkapi, sudah saling
mengimbangi. Sementara kita ? aahh sudahlah. Mungkin kita belum bisa menjadi
pelangi yang indah.
Aku berteman dan tertawa bersama mereka. Tapi apakah mereka
juga tertawa bersamaku? Aku ingin tak hanya aku yang berhasil mendaki gunung,
tapi aku juga ingin teman-temanku berhasil menaklukannya. Tapi apakah mereka juga
berkeinginan seperti itu? Aku ingin tulus. Karna aku tahu tawa dan kerianganku
ada pada mereka.
Aku ingin seperti pelangi juga. Dengan perbedaan ingin
menciptakan keindahan. Yang tak mencolok. Yang tak ada dominan dari warna-warna
yang lain. Yang melengkapi. Yang mengimbangi. Aku tak mau gagal. Gagal menjadi
teman yang baik. Gagal membawa pasangan perbedaanku menuju gunung. Aku ingin
bersama mendaki gunung. Mengapa pelangi saja yang tak besuara, yang tak
melihat, yang tak mendengar, bahkan tak merasa dapat menjadikan perbedaan
mereka menjadi sebuah hal yang indah, hal yang selalu dinantikan sehabis hujan
datang?
Aku ingin meniru perbedaan pelangi, tapi aku tak ingin
hadirku seperti pelangi. Yang datang pada saat hujan usai. Sementara saat
langit indah dia tidak ada.
Hingga aku beranjak dari tempat ini mungkin aku sudah
memiliki banyak hal yang berbeda dari diriku. Semua perbedaan yang aku ingin
tata menjadi keindahan natural, yang bisa menerima lemah dan kuatku. Yang tak
berfikir sebuah kado setelahnya. Yang tak berfikir bahwa kelak akan ada paket
tiba dirumahnya setelah membantuku. Ketulusan. Itu hal yang mahal.
Nyatanya aku
membenci pertemuan yang harus memisahkan. Aku benci air mata yang harus
kukeluarkan saat akan berpergian dari hidup mereka. Aku benci saat aku merasa
gagal menjadi teman mereka. Saat aku tak mendapat tempat sebagai orang yang
ingin membawa mereka keluar dari sesatnya jalan walau aku sendiri belum bangkit
dengan sempurna. Walau aku sendiri belum mampu menciptakan sebuah menara. Walau
aku belum bisa menancapkan tiang dengan kibaran merah putih di Gunung Mahameru.
Tapi apa salahnya jika aku ingin bangkit bersama mereka. Apa kurangnya jika aku
ingin membangun menara dengan kekuatan mereka. Apa lemahnya jika aku ingin
kakiku membawaku ke puncak tertinggi itu bersama langkah mereka. Aku gagal. Gagal
karna tak ada tempat untukku sebagai orang yang ingin mengajak mereka melangkah
lebih jauh, dan jauh lagi...
“berharap kelak tak hanya aku atau tak hanya kamu, tapi
KITA. Kelak.”
NV.Simanjuntak
-palembang, juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar