Aku hanya akan terbisa berpijak pada batu ini. Dengan segala
kerasnya, keras yang menjerat langkahku, sampai tercetak bentuk kaki ku dibatu
itu. Tetapi hanya akan terlihat jika aku beranjak dari batu itu. Gambaran itu
lah yang akan menjadi saksi bahwa telah habis waktuku untuk berdiri dan
berpijak pada batu itu. Langit sore juga telah memutar kembali cerita dulu. Yang
ada sakit dan segala macam yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata yang
biasa, tapi aku juga tak punya kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dan dari
situ baru aku sadar ternyata aku masih harus mencari koleksi baru yang harus
kujaga. Sedikit kujelaskan tentang kita dulu, bahwa aku ternyata pernah
mendapatkan perumpamaan dari hal yang tak biasa untuk seorang wanita, tapi
sayangnya aku terlalu merasakan ketidakmungkinan itu hingga aku gagal dan tidak
berhasil menangkap kalimat-kalimat yang biasa tetapi bermakna itu.
Sekarang langit sore sudah bosan untuk memutar kembali
cerita tentang kita dulu, sama seperti mereka yang hadir sebagai pembaca, dan
sudah muak dengan semua yang terangkai tanpa sengaja. Tetapi tahu tidak, aku
sudah melampaui masa bosan untuk menunggu, masa bosan untuk menceritakan, dan
bosan untuk merasakan sakit. Aku tak pernah memintanya, hanya saja aku dibentuk
untuk tidak bosan lagi, tapi aku tak tahu mengapa begitu. Mungkin karena
semuanya kucurahkan tak hanya dalam gambaran bantuan pena dan buku, tapi juga
terucap dalam doa yang kusempatkan pada Sang Pencipta.
Seandainya aku bisa memberontak untuk tidak menjadi wanita
yang terus menerus memupuk perasaan yang konyol ini, aku ingin berfikir seperti
mereka yang selalu menjadi penjaga bagi Pendekar Melati. Dengan logikanya mampu
untuk menyimpan apa yang dirasakan hingga tak satupun yang menyangka. Diam dengan
tindakan. Bukan dengan kalimat seperti yang sering kulakukan. Tetapi sandunganku
menyadarkan bahwa tersudut kekuatan sebagai seorang Pendekar Melati ditapal
batas jalan. Dan ini lah kekuatanku, kekuatan menyusuri tiap lekukan. Hingga aku
sampai pada ruang rindu, tapi hanya aku saja yang terjebak dan menunggu diruang
itu. Seolah ketika hati memang sedang tak begitu stabil secara tidak langsung
ada ruang-ruang aneh yang mendukung kegalauan yang masih bersarang.
Diruang itu aku getarkan kalimat yang menyelipkan namamu, karena
telah jauh kulalui lekukan jalan ini, masih saja tak kutemukan apa yang kucari,
apa yang sudah hilang tanpa alasan, yaitu kau. Lipatan tanganku yang
menggenggammu didalam doaku juga sulit kulupakan bagaimana geraknya, seketika
aku merindukanmu, dengan cepat pula tanganku terlipat untuk menggenggam namamu
dan ucapanku mengucapkan namamu, memadukan getar keindahan yang hanya aku dapat
memaknai ketidakbiasaan yang sering terjadi itu. Membawamu dalam gerbang mimpi
indahku, mensyukuri pertemuan yang menggantung ini. Karena kekuatan doaku mampu
membentuk kembali retakan hati yang sempat jatuh dari gantungannya.
Lambaikanlah perpisahan untukku! Dan senyumlah ketika kau
melambaikan tangan sebelum pergi, agar menandakan bahwa ketika kau pergi itu
semua karna memang kau sudah temukan kebahagiaan yang lebih tepat untukmu, dan
itu bukan aku yang bisa menciptakannya. Satu hal yang belum bisa kujelaskan
mengapa kita tak mengerti keadaan ini, yaitu jalan kita, yang kusangka
mempertemukan untuk menyatukan, ternyata mempertemukan untuk menciptakan
kenangan lain, selain kebahagiaan. Kurasa kau pasti tahu itu. Atau jika ini
karena kesibukanmu, sedang aku dengan rutinitasku maka kutambahkan doa dalam
tiap malamku agar masih ada celah untuk kita sekedar hanya bercanda seperti
dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar