Minggu, 15 Juni 2014

"...Lambaikanlah perpisahan untukku! ..."

Aku hanya akan terbisa berpijak pada batu ini. Dengan segala kerasnya, keras yang menjerat langkahku, sampai tercetak bentuk kaki ku dibatu itu. Tetapi hanya akan terlihat jika aku beranjak dari batu itu. Gambaran itu lah yang akan menjadi saksi bahwa telah habis waktuku untuk berdiri dan berpijak pada batu itu. Langit sore juga telah memutar kembali cerita dulu. Yang ada sakit dan segala macam yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata yang biasa, tapi aku juga tak punya kata yang tepat untuk menggambarkannya. Dan dari situ baru aku sadar ternyata aku masih harus mencari koleksi baru yang harus kujaga. Sedikit kujelaskan tentang kita dulu, bahwa aku ternyata pernah mendapatkan perumpamaan dari hal yang tak biasa untuk seorang wanita, tapi sayangnya aku terlalu merasakan ketidakmungkinan itu hingga aku gagal dan tidak berhasil menangkap kalimat-kalimat yang biasa tetapi bermakna itu.

Sekarang langit sore sudah bosan untuk memutar kembali cerita tentang kita dulu, sama seperti mereka yang hadir sebagai pembaca, dan sudah muak dengan semua yang terangkai tanpa sengaja. Tetapi tahu tidak, aku sudah melampaui masa bosan untuk menunggu, masa bosan untuk menceritakan, dan bosan untuk merasakan sakit. Aku tak pernah memintanya, hanya saja aku dibentuk untuk tidak bosan lagi, tapi aku tak tahu mengapa begitu. Mungkin karena semuanya kucurahkan tak hanya dalam gambaran bantuan pena dan buku, tapi juga terucap dalam doa yang kusempatkan pada Sang Pencipta. 

Seandainya aku bisa memberontak untuk tidak menjadi wanita yang terus menerus memupuk perasaan yang konyol ini, aku ingin berfikir seperti mereka yang selalu menjadi penjaga bagi Pendekar Melati. Dengan logikanya mampu untuk menyimpan apa yang dirasakan hingga tak satupun yang menyangka. Diam dengan tindakan. Bukan dengan kalimat seperti yang sering kulakukan. Tetapi sandunganku menyadarkan bahwa tersudut kekuatan sebagai seorang Pendekar Melati ditapal batas jalan. Dan ini lah kekuatanku, kekuatan menyusuri tiap lekukan. Hingga aku sampai pada ruang rindu, tapi hanya aku saja yang terjebak dan menunggu diruang itu. Seolah ketika hati memang sedang tak begitu stabil secara tidak langsung ada ruang-ruang aneh yang mendukung kegalauan yang masih bersarang.

Diruang itu aku getarkan kalimat yang menyelipkan namamu, karena telah jauh kulalui lekukan jalan ini, masih saja tak kutemukan apa yang kucari, apa yang sudah hilang tanpa alasan, yaitu kau. Lipatan tanganku yang menggenggammu didalam doaku juga sulit kulupakan bagaimana geraknya, seketika aku merindukanmu, dengan cepat pula tanganku terlipat untuk menggenggam namamu dan ucapanku mengucapkan namamu, memadukan getar keindahan yang hanya aku dapat memaknai ketidakbiasaan yang sering terjadi itu. Membawamu dalam gerbang mimpi indahku, mensyukuri pertemuan yang menggantung ini. Karena kekuatan doaku mampu membentuk kembali retakan hati yang sempat jatuh dari gantungannya.

Lambaikanlah perpisahan untukku! Dan senyumlah ketika kau melambaikan tangan sebelum pergi, agar menandakan bahwa ketika kau pergi itu semua karna memang kau sudah temukan kebahagiaan yang lebih tepat untukmu, dan itu bukan aku yang bisa menciptakannya. Satu hal yang belum bisa kujelaskan mengapa kita tak mengerti keadaan ini, yaitu jalan kita, yang kusangka mempertemukan untuk menyatukan, ternyata mempertemukan untuk menciptakan kenangan lain, selain kebahagiaan. Kurasa kau pasti tahu itu. Atau jika ini karena kesibukanmu, sedang aku dengan rutinitasku maka kutambahkan doa dalam tiap malamku agar masih ada celah untuk kita sekedar hanya bercanda seperti dulu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar