Hujan memang paling bisa. Tidak tahu
dia punya kekuatan apa, tapi memang hujan yang paling bisa mengembalikan memori
masa lampau atau bahkan mempercepat bayangan masa depan. Baru sebentar saja ia
turun tapi aku sudah jauh mengenang bahakan membayangkan. Mengenang masa sulit
yang pernah menghabiskan air mata maupun masa suka yang menyimpan tawa. Ini bukan
hanya tentang kamu, tetapi juga tentang aku dan mereka. Baik masa sulit maupun
masa sukanya.
Baru sebentar lalu rintiknya
perlahan terdengar, tapi melodinya mengembalikan segala masa yang pernah
kulalui bukan dengan sendirian. Saat banyak tangan yang rela terbuka tanpa
diminta, saat banyak telinga yang tak pernah kuminta untuk mendengar, dan saat
aku tergulung ombak air mata aku tak perlu mencari bahu mana untuk bersandar. Tapi
itu dulu. Entahlah sekarang bagaimana. Entah harus menyalahkan siapa.
Rasanya ada gejolak dari dalam
hati untuk menyalahkan waktu, ketika dia berputar maka banyak hal yang akan
berlalu. Tapi jahat jika aku mengkambinghitamkan waktu, karena ini bukan
salahnya. Dia sudah berputar sesuai kemampuannya, tidak dilebihkan atau
dicepatkan. Mungkin yang salah adalah diri sendiri, ketika waktu berjalan justru
saat itu kedewasaan kita sudah jauh berlari mendahului waktu yang semestinya.
Merubah diri, menutup hati –sementara
membuka hati untuk penghuni lain- bahkan menghilang dengan perlahan.
Dan aku menyesalinya, aku bukan
yang terhebat yang bisa membagi 24 jam waktuku ketika banyak hal yang bertambah
untuk kupikirkan. Kita sama. Kalian punya 24 jam jatah perhari, dan begitu juga
aku. Tapi sayang mungkin hanya sepersekian detik yang kita habisnya untuk
sekilas mengingat waktu kita pernah pulang terlalu malam, waktu kita kehujanan
tetapi malah tertawa, waktu kita menertawakan sesuatu padahal kita tak lebih
sempurna.
Entahlah dewasa itu harus
disyukuri atau dicaci maki. Untuk itu semua aku membutuhkan kotak besar dan
gembok yang kuat. Untuk menempatkan kenangan indah namun tak perlu diingat
lagi, untuk menyimpan rekaman tawa kalian yang mengejek itu, dan untuk semua
proses perubahan dari tahun ke tahun yang justru menipiskan bukan untuk
menebalkan percaya.
Terimakasih kedewasaan yang
selalu dielu-elukan. Sekarang aku lebih menyukai sepi, dimana ada damai yang
lebih berarti dibanding ramai yang menikam. Dimana aku hanya bercerita pada
diri sendiri, mengenal jauh siapa sipemilik jari yang lebih kuat ini. Yang
sejujurnya merindukan berpanas sambil memancing, yang merindukan berlari
dikebun orang, yang merindukan menjadi buronan karena ketahuan kabur dari
jadwal tidur siang. Dan yang tak mengenal sakit karena kehilangan tangan yang
akan memeluk, kehilangan telinga untuk sekedar mendengar, dan bahu untuk
bersandar yang semuanya pernah ada tanpa diminta.
Terimakasih waktu, menyempatkanku
untuk mengucapkan ‘terimakasih’ yang memiliki kesan untuk mengakhiri...